Apakah Anda pernah disakiti sedemikian rupa hingga sulit untuk melepaskan dan memaafkan? Apakah balas dendam akan membuat Anda merasa lebih baik? Apakah Anda penganut pola pikir “Dont get mad, get even!” ? Di tengah suasana bangsa yang sedang agak sensitif belakangan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengungkap berbagai kemanisan & ketidakmanisan dalam hal balas dendam.
Bahasa Jerman memiliki sebuah kosakata menarik dalam bahasa Jerman, ‘schadenfreude‘, artinya rasa puas yang kita rasakan ketika orang lain menerima kemalangan. Secara logika aneh sekali jika kita manusia -sebagai makhluk intelektual yang memiliki norma- bisa mendapatkan kenikmatan pada keadaan seperti itu.
Manusia seharusnya tidak sesakit, serendah dan sekejam itu, ‘kan?
Teknologi pemindai PET scan menyatakan sebaliknya. Reaksi emosional schadenfreude itu dapat terdeteksi muncul pada area otak kita yang bernama dorsal striatum, yaitu bagian yang bertanggungjawab untuk perasaan nikmat atau puas. Bagian itu teraktivasi (yang berarti konsumsi aliran darah meningkat di sana) salah satunya ketika kita merencanakan sesuatu untuk membalas dendam kepada orang lain.
Hal tersebut ditemukan oleh Ernst Fehr adalah seorang peneliti dari University of Zurich yang telah melakukan penelitian tentang balas dendam selama bertahun-tahun. Ia menyatakan demikian: “A person who has been cheated is left in a bad situation—with bad feelings. The person would feel even worse if the cheater does not get her or his just punishment.”
Itu sebabnya kita merasa butuh untuk membalas, yaitu supaya mengalihkan bad feelings itu kepada orang lain. Semakin detil plot pembalasan yang Anda buat, semakin banyak aliran darah yang mengalir ke dorsal striatum, akibatnya semakin besar antisipasi kenikmatan yang Anda rasakan.
Sampai di sini, peribahasa rasanya benar: revenge is sweet.
Namun ternyata penelitian Ernst tidak berhenti sampai di situ saja. Ditemukan bahwa aliran darah pada bagian otak itu bisa berkurang ketika kita diingatkan pada konsekuensi, biaya atau resiko yang terjadi bila rencana balas dendam benar-benar dilaksanakan. Dalam bahasa sehari-hari, kenikmatan balas dendam hanya ada pada tahap perencanaan dan antisipasi.
Jika kemudian benar-benar dilakukan, rasa nikmat itu segera tergantikan dengan banyak sekali perasaan-perasaan negatif. Daniel Gilbert dari Harvard University menegaskan hal tersebut, “actually inflicting revenge on someone who has wronged us leaves us feeling anything but pleasure.”
Bahkan sebuah penelitian lainnya yang berjudul The Paradoxical Consequences of Revenge menyatakan bahwa orang yang berharap bisa puas karena balas dendam justru mendapat ketidakpuasan yang berkepanjangan. Anda tahu alasannya?
Karena orang yang sudah membalas dendam cenderung akan terus memikirkan, merenungkan, dan mengenang orang yang menyakitinya; sementara orang yang tidak membalas dendam cenderung melanjutkan hidupnya dan tidak memusingkan orang yang menyakitinya. Berikut adalah kutipan langsung dari isi hasil penelitian tersebut:
“People underestimate the extent to which punishment will make them ruminate about the transgressor, and they fail to realize that this is especially true if they instigate the punishment. The reason for this paradoxical finding is that rumination prolongs the negative emotions that punishers are trying to escape in the first place—the act of having punished someone keeps us thinking about them.”
Menurut seorang psikolog sosial, Kevin Carlsmith dari Colgate University, tujuan balas dendam adalah demi menyeimbangkan keadaan dan merasakan kepuasan, namun anehnya jika dilakukan malah menciptakan efek berkebalikan. “Rather than providing closure, revenge does the opposite: it keeps the wound open and fresh. So it’s easier to move on. Say no to revenge. It only hurts yourself,” ucap Kevin sebagaimana dikutip oleh Psychology Today.
Sekali lagi, kenikmatan balas dendam tidak pernah bertahan lama dan hanya ada di tahap awal sebelum balas dendam dilakukan.
Dinding Komentar