Hari itu, tinjunya mendarat di pipimu. Dan, ini bukan kali pertama.
Polanya sudah mudah ditebak: Kau baru saja keluar dengan teman-temanmu yang tak dia sukai. Dia mengetahuinya. Kau berusaha memberi alasan. Dan, dia akan memukulmu. Kau berdiri gemetaran di pojok kamarnya. Napasnya naik-turun. Kau pergi meninggalkannya. Dia akan mengejarmu. Kau menangis. Dia meminta maaf, memohon-mohon. Jangan pergi, aku benar-benar janji nggak bakal ngelakuin ini lagi. Kau hanya bisa diam, nyaris mati rasa. Dan, dia tak akan pernah menyerah.
Seperti cerita yang sudah-sudah, kau akan menatap kedua bola matanya. Lalu, kau tenggelam di dalamnya, teringat kisah sedihnya di masa lalu. Keluarga broken home. Ayah yang selalu memakinya saat masih kecil. Ibu yang sering memukulnya. Ayah yang menikah lagi. Ibu yang menikah lagi. Keluarga baru yang tak menyukainya. Tersisihkan oleh keluarga sendiri.
“Aku cuma punya kamu,” lanjutnya, meluluhkanmu. Dan, kau akan memaafkannya.
Bukan karena kau sebodoh itu, bukan karena kau masih sayang kepadanya. Tetapi, karena kau adalah satu-satunya yang dia miliki. Kau tak tega. Lagi pula, bola matanya saat memohon maaf; terlihat seperti bibit-bibit perubahan yang baik. Mungkin, kali ini, dia akan berubah, pikirmu.
Sayangnya, dia tak pernah berubah. Padahal dulu dia tidak begini. Dulu, kisah cinta ini begitu indah.
Bermain Fisik sudah jadi ritual di kala emosinya memuncak. Ucapan maaf hanya jadi formalitas. Terlalu sakit untuk bertahan, terlalu cinta untuk melepaskan.
Memang, ada masa-masa ketika dia begitu perhatian. Membawakanmu makanan saat kau sakit. Meyakinkan keadaanmu selalu baik-baik saja. Menjemputmu pukul berapa pun. Menjauhkanmu dari orang-orang tak baik. Namun, sisi monsternya selalu muncul. Terutama saat kau melakukan apa yang dia tak lakukan. Berbincang panjang lebar dengan teman laki-lakimu di telepon, hanya untuk membicarakan sebuah tugas. Keluar bersama sahabat-sahabatmu yang tak disukainya tanpa alasan.
Teman-temanmu memintamu untuk melepaskannya. Namun, bola matanya yang menyimpan kesedihan; ucapan maafnya yang selalu terdengar tulus; kesendiriannya-membuatmu ingin bertahan.
Bahkan suara di dalam hatimu berkata, “Kamu harus mencintai dirimu sendiri juga.” Tetapi, teori selalu mudah diucapkan. Namun sulit dijalankan.
Kau selalu disakiti, tetapi selalu saja ingin kembali, kembali, dan kembali.
Saya berusaha mencari-cari alasan paling masuk akal: Mengapa kau melakukannya? Mengapa berat bagimu meninggalkannya?.
Religiously speaking, mungkin ada peran pasukan Iblis, yang memberi alasan padamu ingin kembali. Berpacaran adalah hubungan yang dilarang dalam agama kita. Sehingga syaitan sangat suka untuk menjadikan indahnya kesalahan ini. Terasa seperti candu. Setiap kali kau ingin meninggalkannya, seolah ada bisikan-bisikan yang berisi janji manis: Dia Bakal Berubah. Nggak ada cowok yang bisa menyayangimu seperti dia. Bagaimana dia bisa memperbaiki dirinya kalau kau tidak memberi kesempatan. Nanti kalau sudah menikah, pasti semua bakal baik.
Ini fenomena aneh, seperti jebakan nyata. Dalam hal yang dilarang, kau ingin selalu ingin kembali, kembali, kembali. Meski fisik dan mentalmu disakiti, kau terus bertahan. Sampai menikah. Namun, dalam posisi sudah halal seperti itu, kau baru merasa benar-benar tersakiti dan terpenjara. Dan, yang ingin kau lakukan hanyalah bercerai. Titik.
Religiously speaking, karena pasukan iblis akan menghasutmu untuk segera bercerai. Secepat dan sesingkat-singkatnya.
“Tidaklah aku tinggalkan (anak Adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan istrinya.” Maka, Iblis mendekatkannya seraya berseru, “Bagus benar dirimu.” [HR Muslim: 2813]. Sehingga Arasy bergetar, senanglah Iblis.
Jebakan yang amat-amat nyata.
Sayangnya, saat kau sudah menikah, tak semudah itu berkata putus.
Kau harus memikirkan nasib anak-anakmu. Keputusanmu akan mempengaruhi seumur hidupmu. Kau harus melalui birokrasi melelahkan, rentetan persidangan, dan dia yang berusaha menyulitkanmu dalam proses perceraian.
Ada penyesalan seumur hidup di depan matamu. Beruntung, hari ini, kau punya kesempatan untuk mengubah semuanya.
Memang berat, memang sulit, memang butuh perjuangan alot, tetapi.... apakah kau ingin menukar rasa sayang ini dengan penyesalan seumur hidup?.
Kang Jay
Oleh | Jayadiningrat |
Ditulis | Aug 8 '20 |
Dinding Komentar