“Ayo, masuk.” Dia menarik lenganmu, membawa langkahmu menuju tempat paling asing dalam duniamu.
Kamarnya. Kamar seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang bukan bagian dari keluargamu. Kamar pacarmu.
Langkahmu membeku di sana, di belakang pintu kamarnya yang masih terbuka. Lututmu terlalu lemas untuk berbalik keluar dari kamar pengap ini. Kau bahkan tak bisa lagi merasakan kencangnya degup jantungmu. Jadi, matamu mengitari seisi ruangan. Kasur yang teronggok di lantai dengan seprai berantakan, baju kotor di atasnya, dan selimut yang belum dilipat. Asbak di pojok kamar, beserta bekas puntung-puntung rokok dan ampasnya. Lemari kayu yang pintunya tak ditutup. Saat kau menarik napas, aroma rokok, udara pengap, dan sisa parfum maskulin beradu dalam indera penciumanmu.
Masih membatu, matamu mengekori langkah kakinya. Dia melepas jaketnya, membuangnya ke tempat tidur, berjalan menuju jendela, menyingkap tirai hijau, membuka jendela sehingga cahaya senja menembus, menyilaukan tatapanmu.
“Ngapain di situ? Duduk sini.” Kini, dia duduk di kasurnya, bersandar di dinding, sedikit berbaring, lalu menepuk bagian kosong di sampingnya sambil menahan tawa melihat ekspresi tegangmu.
Saat kau mengambil langkah pertama, dia berkata, sedikit lebih pelan, “Pintunya ditutup aja.”
Napasmu tercekat. Kau menelan ludah.
Omong-omong, ini indekos. Kau tahu mengapa pintu sebaiknya ditutup. Dan, kau tak punya pilihan lain. Jadi, kau mendorong pintu itu, membiarkan sejengkal celah. Lalu, kau duduk di sampingnya, terlalu kaku dan tegang.
“Kamu kenapa, sih? Santai aja,” ucapnya, duduk tepat di sampingmu.
Mulai dari percakapan itu, dia meneruskan pembicaraan. Dia bercerita tentang indekos ini. Penghuni kamar sebelah yang sering mabuk tiap malam, lalu akhirnya didepak dari indekos ini. Penjaga indekos yang nyaris tak pernah kelihatan kecuali saat menagih tagihan bulanan dan saat ada kasus tertentu. Kisah horor di kamar mandi atas. Kebiasaan anak cowok di indekos, yang membuatmu mengernyit jijik.
Dia terus bercerita sampai matahari terbenam.
Dan, kau begitu menikmati setiap momen bersama orang yang kau cintai, di tempat intim ini. Tak seperti di mall yang hiruk pikuk. Parkiran mall yang kelewat panas. Kafe yang dibatasi waktu. Kau diam-diam menikmati situasi ini. Kau dan dia, tanpa jarak.
Kalian terus berbincang sampai malam menjelang.
Tak ada apa-apa yang terjadi.
Dia adalah laki-laki yang baik. Kau adalah gadis yang tahu batas.
Berada di dalam kamar pacar tak seburuk yang orang-orang pikirkan.
But it was just the first night.
Berada di dalam kamar pacar tak seburuk yang orang-orang pikirkan, batinmu.
Jadi, keesokan harinya, kau datang lagi. Lagi pula, apa yang bisa kau lakukan setelah semua urusan di kantor usai? Bermain bersama teman? Oh, mereka juga sibuk dengan pacar-pacar mereka. Mengerjakan tugas-tugas kantor? Duh otak ini butuh penyegaran. Kembali ke kosanmu? Bosan di sana. Mengajak pacarmu ke kosanmu juga tak mungkin, karena itu kosan putri.
Tak ada pilihan lain, bukan? Jadi, pada senja yang menua ini, kau duduk di sampingnya, di dalam kamarnya, memancing kisah mantan-mantannya dulu, berpura-pura cemberut, sampai dia memohon-mohon, berusaha memelukmu, berkata lirih tapi aku-paling-sayang-sama-kamu, lalu kau akan tertawa melihat wajah sedihnya.
Dan ketika kalian bersama, waktu berjalan begitu cepat. Senja memudar. Malam menjelang. lni malam keduamu di sini, di kamar pacarmu.
Ratusan kilometer dari sini, ibumu tak bisa tidur, ayahmu lembur lagi malam ini.
Kamu berada di dalam kamar pacarmu tak lagi terasa mengerikan. Dia adalah laki-laki yang baik. Kau adalah gadis yang tahu batasnya. Dia akan mengantarmu pulang sebelum pukul sepuluh malam.
Dia tak pernah menyentuhmu secara tak sopan.
Maka, datanglah malam ketiga.
Hujan turun di luar, nyaris pukul sepuluh.
Pacarmu tampak gelisah. Dia bolak-balik kamar mandi sejak tadi.
“Kamu kenapa, sih?” tanyamu, saat dia kembali ke kamar.
Kau sedang berdiri di dekat jendela. Dia menghampirimu, dengan tatapan yang berbeda. “Nggak, nggak apa-apa,” jawabnya, kini berdiri begitu dekat denganmu. Tanpa jarak. Dan, diam begitu lama.
Hingga dia berbisik. “Apa aku boleh-"
Dan, tak sampai dia menyelesaikan pertanyaan, itu telah terjadi.
Sebuah ciuman pertama.
Kau tersentak, mendorongnya pelan, tak mau memandang wajahnya. Diikuti jeda yang panjang dan canggung.
Gimana kalau dia marah...
Gimana kalau dia ninggalin aku gara-gara ini...
Temanku lebih parah dari ini, kok...
Akhirnya, kau mengangkat muka, memandangnya, lalu mengangguk. Karena kau menyayanginya. Karena kau tak ingin ditinggalkan.
Karena dia adalah laki-laki yang baik, dan kau adalah gadis yang tahu batas. Itu semua bermula dari sana.
Sayangnya, itu hanya jadi dongeng masa lalu.
Karena...
seperti detik-detik yang menjelma menit, menit yang menjelma jam, jam yang menjelma hari, bulan, hingga tahun, siapa sangka kumpulan detik yang kecil dapat menjelma tahun-tahun yang berlalu?
Dan, seperti dirimu yang merasa dia adalah laki-laki baik dan kau adalah gadis yang tahu batasnya,
Lalu, kau meremehkan sebuah batas: masuk ke kamarnya.
Namun, kalian saling cinta, tak ada paksaan, orang-orang tak berhak bilang apa-apa.
Bersama dalam kamar menjelma pelukan sederhana, pelukan sederhana menjelma ciuman, ciuman menjelma sentuhan-sentuhan terlarang, sentuhan-sentuhan terlarang menjelma sesuatu yang lebih jauh, sesuatu yang melanggar batas, yang kau kira kau tahu bahwa itu adalah batas yang tak boleh kalian lewati.
Namun, kalian saling cinta, tak ada paksaan, orang-orang tak berhak bilang apa-apa.
Siapa sangka langkah pertama di kamarnya menjadikanmu seperti ini, sejauh ini? Aku tak tahu apa lagi yang terjadi di kamar itu. Namun bertahun-tahun kemudian, kudengar kabar baru. Kabarnya, kalian sudah putus.
Dia mengaku bosan dalam hubungan ini, seolah dia telah mendapatkan apa yang dia kejar, maka selesailah misinya.
Kau mencoba keras untuk bertahan dalam hubungan yang sudah tak sehat ini. Satu-satunya alasan kau ingin bersamanya adalah karena dia telah merebut sesuatu berharga dari dirimu. Dan, ada cinta yang semakin membludak setelah malam-malam itu.
Namun, dia tak mau lagi bersamamu.
Sesuatu dalam dirimu memang telah diambilnya dan tak akan pernah kembali.
Rasanya begitu mudah mengatakan ini... tetapi, lebih baik begitu. Daripada kau bertahan dengan seorang laki-laki yang hanya memanfaatkan apa yang kau miliki.
Daripada kau terus-terusan tenggelam dalam kesalahan ini.
Setiap malam, kau mungkin akan bertanya, “Lalu, bagaimana masa depanku? Siapa yang mau bersamaku?”
Aku tahu ini sangat berat bagimu. Aku tak tahu solusi paling tepat.
Namun, aku hanya ingin mengingatkan:
Kita tidak hidup karena cinta. Kita tidak hidup untuk mencari pasangan.
Ada misi yang lebih besar dari itu.
Sebab jika cinta adalah tujuan hidup kita, bagaimana dengan pasangan-pasangan yang berakhir cerai, pasangan-pasangan yang ditinggal mati, lalu memutuskan hidup sendiri seumur hidupnya? Bukankah itu tanda besar bahwa cinta bukanlah tujuan hidup ini?
Ini juga bukan sekadar cita-cita yang besar. Lebih dari itu. Jauh setelah itu.
Sebab jika cita-cita adalah tujuan hidup kita, mengapa tokoh-tokoh seperti Albert Einstein dan Steve Jobs, yang mungkin telah mencapai mimpi-mimpi besar mereka, harus berakhir dalam pusara? Bukankah itu tanda besar bahwa ada sesuatu setelah cinta dan cita-cita?
Iya, aku berbicara tentang sebuah kehidupan setelah kematian.
Apakah kau telah mencari tahu kehidupan setelah kehidupan di dunia ini? Maka, sudahkah kau mencari? Sudahkah kau tahu apa saja yang dapat menyelamatkanmu dari hari-hari buruk setelah kematian? Ataukah kau hanya merasa tak ada kehidupan setelah kematian karena kau tak suka konsep itu? Ataukah karena kau merasa tak ada bukti ilmiah tentang itu, jadi kau berhenti mencari dari perspektif lain? Ataukah karena ini terdengar seperti dongeng?
Namun, mengapa ada sudut dalam hatimu yang senantiasa terasa kosong, seperti sedang berusaha mencari dan mengejar sesuatu? Sudahkah kau benar-benar mencari? Mengapa kau selalu merasa kehilangan arah? Mengapa kau selalu mempertanyakan ujung hidup ini? Sudahkah kau mendengar kebenaran yang tak terelakkan, yang bahkan hatimu bisa merasakannya?
Lihat, baru beberapa kalimat, dan pikiran tentang jodoh mulai memudar. Bebanmu sedikit terangkat. Hatimu terasa tenang, seperti udara yang menyelusup ke ruang pengap. Ya, karena kau sudah dekat dengan jawabannya. Dengan kebenaran.
Teruslah mencari, teruslah berdoa kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta, yang Maha Kuasa atas Segala Sesuatu, Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, agar kau senantiasa berada di jalur yang tepat, menuju misi terbesar dalam hidup.
Dan, siapa pun yang membaca ini, saya ingin kita ingat: Segalanya bermula dari ucapan ini:
Dia baik. Aku tahu batasannya. Kita nggak bakal ngapa-ngapain, kok.
Teruntuk wanita muda, atau wanita yang sudah usia untuk tidak terlena 'lagi'.
Kang Jay