Mungkin yang suka baca berita online, dua hari ini diramaikan dengan usulan Menko PMK Muhadjir Effendy menyarankan menteri agama mengeluarkan fatwa atau peraturan tentang pernikahan berdasar status ekonomi alias orang kaya menikahi orang miskin. Kata beliau, bisa mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Sekjen MUI Anwar Abbas menanggapi positif usulan ini, agar bisa saling tolong menolong dan perputaran harta tidak hanya dilingkaran orang kaya.
Namun Wamenag Zainut Tauhid mengatakan kemenag tidak bisa mengeluarkan fatwa, yang bisa adalah ulama seperti MUI. Beliau juga mengatakan pernikahan tidak bisa dipaksakan karena semua berawal dari cinta yang tumbuh dari hati. Namun beliau mendukung semangat dari ide ini yaitu mengentaskan kemiskinan.
Saya tergelitik dengan berita tersebut. Saya teringat dengan ucapan salah satu Kyai, “Janganlah kamu menjadikan kekayaan calon istri sebagai idaman untuk pernikahan, namun jadikanlah pernikahan sebagai kunci rejeki.” Kemudian sebuah literatur hadist riwayat At-Thabrani: “Dan barang siapa menikahi wanita karena hartanya, maka Allah akan menjadikannya melarat.”
Melarat? Secara logika, hal ini wajar karena menikahi wanita kaya dengan tujuan hartanya kemungkinan besar bahkan membuat istri jadi sombong, kikir dan cenderung menghina suami, bukannya kenikmatan harta namun justru mendapatkan kerendahan diri di mata istri dan orang lain, itu mungkin yang disebut dihadist diatas menjadi “melarat”. Memang tidak semua wanita akan begitu, pasti ada juga wanita kaya yang baik hatinya dan mampu menempatkan diri sebagai istri solehah he he.
Ingatlah “melarat” ini bermakna luas karena kita pasti tahu bahwa rejeki itu tidak hanya berbentuk harta namun bentuk lainnya seperti kesehatan, kebahagiaan, ketrampilan, bahkan masih bernapas adalah rejeki.
Penelitian terbaru didunia menyebutkan bahwa perempuan semakin tak mau menikah dengan pria miskin dan bangkrut. Di Amerika tingkat perkawinan menurun karena kaum pria akan menjadi tidak menarik secara ekonomi jika miskin, ini terutama karena banyaknya wanita yang kuliah dan bisa cari duit sendiri. Hal ini bukan berarti menunjukan wanita makin meterialistis namun wanita menginginkan stabilitas. Di Jepang pun fenomena ini sama, mungkin kalau pernah baca di awal tahun 2020 model seksi Kato Sari menceraikan suaminya karena suaminya dianggap terlalu miskin dan tidak bisa memberikan uang seperti yang diinginkannya, berawal saat suaminya memohon agar dia berhenti berbelanja. Demikian juga dibelahan dunia lainnya, seperti cina yang suka menunda, eropa yang suka tinggal bersama he he.
Kebalikannya jika pria menikahi wanita miskin, mungkin jika atas dasar cinta (apalagi mencari ridlo Allah) cenderung tidak terlalu banyak masalah karena pria sudah pada kodratnya memberi nafkah ke Istri. Hal ini juga yang mendasari diberbagai negara Pria telat nikah karena mengejar kesuksesan dulu, seperti di Jepang menikah diatas 40 tahun hal biasa karena mengejar karir dan harta dulu, di eropa dimana pesta perkawinan butuh biaya besar sehingga banyak yang kumpul kebo, dan dibeberapa negara lain.
Namun di Indonesia sendiri, saya melihat fenomena pria enggan menikahi wanita miskin lebih karena enggan dijadikan tulang punggung dan perlindungan seutuhnya seorang wanita. Sehingga lebih memilih wanita sekufu bahkan kaya dengan alasan agar rumah tangga berjalan lancar karena saat ini banyak dilihat rumah tangga hancur karena suami tidak bisa memberi nafkah dengan baik, maksudnya kedepannya mertua atau keluarga istri bisa bantu-bantu ha ha, bukannya malah keluarga istri merongrong minta bantuan.
Mengentaskan kemiskinan dengan si kaya menikahi si miskin, sayapun melihat ide pak Muhadjir baik. Namun dalam pelaksanaannya saya rasa masih akan menemui banyak kendala, kecuali ada insentif khusus dari pemerintah seperti pajak penghasilan bisa berkurang dari 15% jadi 5%, DP 0%, BPJS Kesehatan ditanggung pemerintah selama 5 tahun dari tanggal menikah atau yang lain ha ha. Kalau hanya fatwa dari pemerintah (Kemenag) saya rasa kurang menarik, mungkin perlu dikeluarkan oleh organisasi yang lebih dekat dan mengena ke masyarakat, misal dari organisasi seperti Muhammadiyah, NU atau yang penuh pendukung fanatik seperti FPI, LDII dll. Contoh Muhammadiyah sangat tidak menganjurkan poligami, hal ini sangat di hormati dan juarang bahkan sulit ditemui poligami oleh pengikut organisasi ini. Pemahaman mereka, keluarga ideal dan idaman adalah monogami, dimana poligami justru keluarga tidak ideal, bukan disalahkaprahkan poligami itu karena lagi mempraktekkan syariat islam ha ha ha apalagi ada bilang yang tidak mau mempraktekannya maka tidak ikut ajaran Nabi padahal demi mengintimidasi wanita he he he. Namun sayapun harus menghargai pendapat tersebut karena saya Nahdliyin he he he.
Semoga kita yang masih mencari jodoh atau akan menuju ke pelaminan agar memiliki niat dalam membangun rumah tangga untuk mencari ridlo Allah agar kita bisa menggapai bahagia dunia akherat, aamiin.
Kang Jay