Pagi itu, anda buka jendela kamar.
Angin bertiup lembut, membawa sehelai daun kering melayang di udara, jatuh di kusen jendela. Aroma pagi menjelajah seisi kamar, wanginya seperti tanah kering yang dibasahi hujan dan pohon-pohon yang dibasahi oleh embun. Matahari terbit lebih cerah, sinarnya menyelusup ke dalam kamar, menyorot tempat tidur yang masih berantakan dan anda yang berbaring lagi di balik selimut. Secangkir kopi susu panas telah menanti, liukan uapnya memanggil.
Ini adalah hari yang baru, tanpa dirinya, tanpa air mata, dan tanpa luka basah.
Beberapa hari terakhir, anda melahap buku motivasi, menelusuri setiap halamannya penuh perasaan. Perlahan, anda menyadari hubungan di masa lalu adalah kesalahan yang tak ingin anda ulangi lagi. Perlahan, anda menerima kesalahan dulu. Perlahan, anda menerima kepergiannya. Perlahan, anda memaafkan diri anda. Perlahan, anda mengubah keinginan; yah keinginan perjalanan cinta anda.
Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.
Memang, anda belum sepenuhnya pulih dari patah hati, tetapi anda memilih bertahan dan terus melangkah. Seperti, tadi malam, saat anda menelusuri lnstagram dan menemukan fotonya bersama seseorang baru, timbul perih di hati, layaknya cubitan kecil nan tajam, gigitan semut merah, dan tusukan jarum lancip. Namun, ya sudah, rasa sakit itu tak lagi bertahan lama.
Untuk menghibur diri, anda akan mengunjungi akun-akun lain, memandangi foto-foto mesra pasangan yang telah menikah.
Genggaman tangan yang halal, jalan-jalan berdua yang halal, pelukan hangat yang halal, seluruh interaksi yang halal. Di akun-akun itu, anda berimajinasi dan bergumam dalam hati....
Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.
Saat menulis ini, saya tersenyum. Telah anda lepaskan orang-orang yang tak berhak dipertahankan. Tak lagi anda gantungkan kebahagiaan anda pada cinta-cinta yang tak pasti. Namun, senyum itu tak menetap lama. Sejujurnya, aku agak Khawatir.
Saya khawatir anda masih menganggap cinta adalah sumber utama kebahagiaan.
Saya khawatir anda masih menggantungkan harapan dan masa depan pada cinta, begitu tinggi, seperti dulu.
Saya khawatir pernikahan hanya jadi kamuflase anda untuk merasakan cinta lagi.
Bukan, bukan berarti anda tak boleh menikah.
Itu adalah keinginan yang baik. Saya mengapresiasi itu. Dari cinta yang tak pasti menuju cinta yang lebih pasti. Dari sesuatu yang dilarang menuju sesuatu yang tak dilarang. Bukankah itu sebuah kebaikan? Saya mengapresiasi itu. Sebagai seorang Muslim tentu pernikahan adalah sebuah ibadah, bentuk penyempurnaan separuh agama, satu dari sekian cara agar kita menjadi hamba yang lebih baik.
Ini adalah keinginan yang baik, saya ulangi itu. Namun, yang kurang baik adalah motivasi yang melatarbelakangi keinginan itu.
Apakah anda ingin menikah hanya karena merindukan rasa indahnya mencintai dan dicintai?.
Apakah anda ingin menikah karena berpikir kebahagiaan permanen itu ada di sana?.
Apakah anda ingin menikah hanya karena takut kesepian?.
Apakah anda ingin menikah hanya karena tak sabar menunjukkan pada dunia bahwa anda bebas bermesraan dengan pasangan halal anda?.
Apakah anda ingin menikah karena anda telah memberi syarat kepada dirimu, “Kalau udah nikah, baru aku bakal begini-begitu?”. Jadi ingat, saya kenal seorang wanita single 41 tahun dengan gaji diatas 15jt, gajinya dihambur2kan unt tamasya, belanja, beli hadiah2 mahal untuk saudara dan keponakannya dll, saat saya sarankan untuk kpr rumah, jawabannya selalu "itu tanggung jawab suami saat sudah nikah". Seakan mengharapkan bahagia dari suami kaya dimasa depan.
Jadi, untuk apa anda ingin menikah?
Sudahkah anda jujur kepada diri sendiri?
Sekali lagi, bukan, bukan saya tak menyarankan menikah. Itu adalah keinginan yang baik, ibadah yang direkomendasikan, bahkan boleh saya bilang wajib (versi saya). Saat melepasnya dari hubungan pacaran, larangan agama dan rida Tuhan jadi alasan utama anda. Namun saat ingin menikah, mengapa rasa ingin mencintai dan dicintai mendominasi pikiran anda? Mengapa ekspektasi dan harapan terhadapnya lebih banyak menguasai pikiran anda? Mengapa pikiran-pikiran seperti HIDUPKU-BAKAL-LEBIH-BAHAGIA-KALAU-SAMA-DIA meliputi seisi kepala anda? Mengapa bukan ridho Allah yang berada di barisan terdepan pikiran anda?
Tidakkah ini... terdengar seperti diri anda dulu?
Ingin berpacaran karena ingin tahu rasanya mencintai dan dicintai. Ingin berpacaran karena ekspektasi dan harapan terhadapnya. Ingin berpacaran karena mengira hidup anda bakal lebih bahagia dengannya. Sekarang, anda ingin menikah karena rindu rasanya mencintai dan dicintai; ingin menikah karena ekspektasi dan harapan anda terhadap pernikahan; ingin menikah karena mengira hidup anda bakal lebih bahagia bila bersamanya.
Bukankah ini tak jauh berbeda dengan masa-masa berpacaran dulu?
Tarik napas sejenak. Tersenyumlah sedikit.
Semoga anda menyadari: Jangan sampai cinta menjadi agama anda. Jangan sampai dia menjadi tempat anda bertumpu. Jangan sampai hidup anda hanya untuk cinta dan dirinya. Sedetik setelah kematian anda, dia sudah tak bisa membantu anda.
Ingin menikah, silakan, itu baik. Namun perbaiki niat, itu yang tak boleh kita lupakan.
Selamat berjuang, untuk diri kita yang lebih baik.
Kang Jay
Oleh | Jayadiningrat |
Ditulis | May 6 '20 |
Dinding Komentar