Mungkin, kebanyakan laki-Iaki memang begitu.
Namun, kebanyakan perempuan juga begitu.
Mereka yang membuat Iaki-laki berjanji.
Mereka yang berekspektasi.
Mereka yang menyalahkan laki-laki ketika janji itu tak tertepati.
Well kita mulai saja kisah ini, yah kisah yang sangat-sangat biasa terjadi.
Kamu berkata kepadanya, “Aku nggak mau main-main. Aku mau hubungan yang jelas, yang ada tujuannya,”
Dan karena aku sudah lelah patah hati, karena aku nggak mau membuang waktuku dengan orang yang nggak pernah berani berkomitmen untuk masa depan, lanjutmu dalam hati.
Hari itu, ada jeda yang berlangsung lama sekali. Tetapi hari itu, kamu bisa mendengarnya berkata.…
“Aku juga nggak mau main-main.”
Beberapa hari kemudian, dia mengisi hari-harimu, setia membalas pesanmu di tengah malam, selalu menjadi orang pertama yang bertanya apakah kamu sudah bangun, saling berbagi cerita, lalu kamu akan mendengarnya berkata:
“Aku pengen kita selamanya kayak gini.”
Setetes air mata menitik di matamu. Mulutmu merapal syukur. Hatimu bergema, “Akhirnya, akhirnya. I found the one.”
Beberapa minggu kemudian, kamu akan membuat drama kecil. Tak membalas pesan darinya, tak memulai percakapan di pagi hari, tak mengangkat telepon darinya. Sekadar mengecek keseriusannya. Sekaligus rindu mendengar kata-kata manis darinya.
Sehingga, dia akan menyerah dalam argumen tak jelas ini dan berkata,
“Aku sayang sama kamu. Kamu jangan gini, dong.”
Namun, kamu lelah dengan ucapan indah. Kamu ingin sesuatu yang lebih serius. Dengan hati yang sudah melayang di langit dan senyum lebar di bibir, kamu mengetik pesan semacam, “Ah. Ngomong sayang mah gampang.”
Dan, dia akan berkata,
“Maaf kalau aku belum bisa komitmen. Tetapi, aku janji. Aku bakal dapat kerja, mapan, biar kita bisa............................... nikah.”
Dan, seluruh tubuhmu meleleh.
Sejak hari itu, tak ada lagi lagu favorit, yang ada hanyalah suaranya, melantunkan janji manis itu, bermain di kepalamu setiap hari, menjadikan hari-hari lebih indah, membuat cinta menyerbak ke seluruh penjuru hatimu, lebih pekat, lebih dalam.
Namun, itu dulu...
Masa lalu yang tak pernah terulang.
Beberapa bulan lalu, kamu menyadari sesuatu: Semakin dalam kamu mencintai, semakin banyak langkah mundur yang dia ambil. Melalui perbedaan pendapat yang tak berujung, kesalahpahaman yang tak jelas, kebuntuan yang tak terelakkan, ucapan maaf yang sia-sia, dia dan kebiasaan buruknya, kamu dan ekspektasimu.
And you've never loved and hated someone this hard, at the same time. Di satu malam yang tak berbintang, keputusan harus di ambil.
"Mending kita udahan aja kalau kayak gini terus".
Sejak hari itu, janji-janji manis yang pernah diucapkannya menjadi lagu kenangan yang selalu bermain di kepalamu, setiap malam, sebelum tidurmu, di sela-sela air mata yang tak tertahankan. Dan setelah jatuh cinta berulang kali, kamu menyimpulkan,
“Semua laki-laki sama aja, ya. Cuma bisa kasih janji manis. Tanpa kepastian.”
Sekali lagi, kisah diatas sangat jamak terjadi, bertahun-tahun di AN sangat sering saya membaca keluh kesah wanita seperti kisah diatas.
Saya, sebagai laki-laki, ingin menjawab: mungkin, anda benar. Mungkin, kebanyakan laki-laki memang begitu. Tetapi, kebanyakan wanita juga begitu. Wanita yang membuat laki-laki berjanji. Wanita yang berekspektasi. Wanita yang menyalahkan laki-laki ketika janji itu tak terlaksana. Padahal, wanita tahu: anda yang memulai semua kode ini menjadi sebuah keseriusan, sedang pria hanya mengikuti alur yang wanita buat sehingga dia hanya berusaha menyenangkan hatimu dengan janji surganya. PADAHAL, wanita pun tahu: pria, yang wanita cintai, punya janji-janji lain yang belum terpenuhi.
Maksud saya...
Anda bisa melihat dengan mata sendiri: misal pria itu masih menggunakan uang orangtuanya untuk pendidikan atau untuk uang jajan selama nganggur, tetapi dia malah menggunakan uang itu untuk anda, dan anda merasa, he's such a gentleman. Namun, bayangkan, jika anda adalah ibu dari seorang anak laki-laki, yang diberi uang untuknya, untuk pendidikannya atau jajannya, tetapi dia malah menggunakannya untuk seorang perempuan yang baru dikenalnya beberapa bulan terakhir, akankah anda akan baik-baik saja?.
Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria belum lulus atau belum bekerja. Dan, kelulusannya atau bekerjanya adalah janji tak terucap, yang belum terpenuhi, antara dia dan orangtuanya.
Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria tidak pernah memulai janji jika tidak anda mengirim kode-kode agar hubungan itu menjadi keseriusan.
Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria bahkan tak tahu cita-citanya. Oh, pria itu mungkin memiliki cita-cita. Tetapi, dia bahkan tak pernah mulai mengejarnya. Jika dia menghabiskan waktu dengan hal favoritnya, anda akan mulai merasa dia tak peduli kepadamu. Padahal, cita-cita adalah janji dia untuk dirinya sendiri.
Janji apa yang wanita harapkan dari seorang laki-laki yang belum memenuhi janji orangtuanya dan janji untuk dirinya sendiri?
Ini tak selalu tentang laki-laki dan janji manisnya. Ini juga tentang wanita dan ekspektasinya yang berlebihan. Berhenti menyalahkannya yang gagal menepati janji itu, sebab wanita pun belum memenuhi janji... untuk Tuhan yang menciptakan anda; lalu, untuk orangtua anda, dan untuk diri anda sendiri.
Hidup tak selalu tentang dia yang kamu cintai.
You have your own life, and it doesn’t always have to do anything with him.
Kang Jay
Oleh | Jayadiningrat |
Ditulis | May 6 |
Dinding Komentar