BLOG TULISAN Jayadiningrat


“Lalu, bagaimana cara mencintai karena Allah?” tanya kita.

Sesungguhnya, ini pertanyaan yang berat, dan sayapun bukan ahlinya. Namun, satu hal yang bisa kukatakan: mulailah dari amalan harianmu.

Seperti, salatmu; sudahkah kau luruskan niatmu karena Allah? Sudahkah kau prioritaskan urusan akhirat setiap kali berdiri untuk salat? Coba, jujur dengan dirimu sendiri danjawablah: Apa alasan kau salat? Apakah kau salat karena kau punya suatu keinginan duniawi, seperti cepat dapat jodoh, memiliki banyak uang, dan hal-hal semacamnya? Apakah kau salat karena ada orang-orang di sekitarmu? Akankah salatmu kau tinggalkan saat kau tak mendapatkan apa yang kau inginkan?

Lalu, sedekahmu; sudahkah kau luruskan niatmu karena Allah? Sudahkah kau prioritaskan urusan akhirat setiap kali bersedekah? Ataukah kau hanya mengharapkan balasan di dunia ini? Akankah kau malas bersedekah jika tak mendapatkan apa yang kau harapkan di dunia ini'?

Mulailah dari amalan harian ini.

Dan, banyaklah berdoa agar dapat meluruskan niat seluruh amalanmu karena Allah, karena hanya dengan taufik-Nya kita bisa demikian.

Lalu, jika kau seorang Muslim, kunjungi kajian-kajian bertajuk tauhid, yang dibimbing oleh ahli ilmu yang berpegang teguh pada apa yang seharusnya menjadi referensi seorang Muslim, dengan intrepetasi yang merujuk pada generasi-generasi terbaik yang langsung direkomendasikan oleh Nabi, melalui sumber-sumber valid.

Dulu, saat saya belum tahu apa-apa, kupikir ikhlas adalah sesuatu yang sederhana. Namun hari ini, saya telah belajar satu dua hal, dan, teman, ikhlas tak sesepele kelihatannya. Perbuatan tidak ikhlas bisa sangat, sangat samar. Di bibir, kau bisa bilang ini karena Allah. Di lubuk hati terdalam, bisa saja ada niat-niat lain yang tersembunyi. Bahkan, pernah kudengar sebuah analogi yang mengungkapkan bahwa ketidakikhlasan lebih samar daripada semut hitam dalam kegelapan malam. Ini bukan sesuatu yang sepele. Ini bukan sesuatu yang mudah. We all are still learning and struggling.

Sekarang, kembali pada pertanyaan awal: bagaimana cara mencintai karena Allah? Kita butuh ilmu. Kita butuh belajar tentang keikhlasan karena Allah. Kita butuh tahu tentang tauhid.

And, it’s a long, long journey until you die. But it will be worth it, trust me.

Kang Jay

Hidup menjadi terasa menegangkan dan membuat stres bila kita menganggapnya sebagai persaingan. Kendati demikian, persaingan itu lebih sering hanyalah produk pemikiran kita. Coba lihat orang-orang sukses yang kita jumpai, baca, dan tonton di televisi, begitu kita berkata pada diri sendiri bahwa kita harus seperti mereka, mencapai apa yang telah mereka capai dan memiliki apa yang mereka miliki. Kalau tidak, hidup kita sama dengan kegagalan. Kita kurang cepat dalam mencapai apapun.

Tak mengherankan bila hidup ini sering kali diibaratkan arena balap tikus. Dan kitalah tikus-tikus itu, yang selamanya terjebak di jalur balap, mengejar-ngejar sesuatu yang dinamakan kehidupan, yang definisi dan tujuannya selalu luput dari genggaman kita. Kita hanya tahu bahwa kita harus mengikuti perlombaan itu dan bersaing dengan yang lain. Untuk keluar dari jalur dan berhenti berlomba sama saja dengan tidak menjadi siapa-siapa. Atau begitulah yang kita kira.

Namun, kadang-kadang ada baiknya kita keluar dari jalur tersebut, meski hanya sejenak. Kalaupun bukan untuk menempatkan kehidupan kita ke dalam perspektif setidaknya kita bisa rehat dan memulihkan kembali kinerja kita untuk kembali ke jalur balap.

Salah satu cara untuk keluar sejenak dari arena balap itu adalah dengan menjadi penonton tentang apa yang sedang berlangsung menyepi di tengah keramaian, diam di antara berbagai kesibukan, dan hanya menyaksikan kehidupan berjalan.

Apakah itu di kafe, restoran, mall, di pinggir jalan, atau di mana pun tempat manusia berkumpul, menyaksikan orang-orang sibuk melakukan urusan keseharian mereka bisa menjadi acara melewatkan waktu yang menyenangkan. Bagaimanapun, tidak ada yang lebih nikmat ketimbang duduk-duduk, relaks dengan minuman sementara orang lain sibuk lalu lalang.

Tempat favorit saya untuk menyaksikan kehidupan mengalir adalah di kafe. Terutama kafe. yang memiliki teras terbuka. Karena tinggal di Jakarta, tidaklah sulit menemukan tempat seperti itu, kafe yang menyediakan kursi-kursi di luar, keteduhan teras atau payung-payung besar. Dan untuk secangkir teh dan soft bread, saya bisa duduk berjam-jam di kursi yang sama tanpa diganggu oleh siapa pun. Dari tempat saya duduk, biasanya tempat yang teduh dan mepet ke dinding kaca kafe, sebuah tirik intai paling leluasa untuk menebarkan pandang tanpa kentara, saya benar-benar tidak melakukan apapun bahkan tidak membuka gadget hanya menyaksikan orang-orang lalu lalang didepan. Orang-orang asing yang tidak pernah saya kenal.

Seorang pria kantoran lewat tergesa-gesa sambil melihat ke arlojinya. Dia mengenakan setelan lengkap dengan dasi dan menenteng tas kerja. Saya mencoba menebak apa kira-kira profesinya. Pastilah pegawai kantor dan dia sedang keluar untuk menemui kliennya atau sedang terburu-buru kembali dari rehat makan siangnya. Mungkin dia seorang bankir, akuntan, pengacara, atau profesi-profesi lain yang mengharuskannya mengenakan setelan lengkap dan dasi.

Beberapa turis duduk tak jauh dari tempat saya duduk. Saya tahu mereka turis karena mereka mulai membuka peta, mungkin mencoba mencari lokasi di mana mereka tengah berada. Keduanya mengenakan topi dan sandal yang nyaman. Saya menduga-duga dari kota mana mereka dan apa pekerjaan mereka. Saya juga bertanya-tanya apa pendapat mereka tentang Jakarta dan di hotel mana mereka menginap.

Seorang pelayan tua mengelap meja di sebelah saya. Dia berpakaian rapi dengan celemek besar menggantung di pinggang dan terlihat sepatu hitamnya yang mengilap, Rambutnya yang mulai menipis berkilap rapi. Dia mengambil pesanan tanpa mencatatnya, hanya mengandalkan ingatan. Tampaknya dia sudah bekerja di kafe itu seumur hidupnya. Saya menerka-nerka bagaimana rasanya menjadi tua dan masih harus menjadi pelayan. Dia santun tetapi saya menangkap sikap dingin dari mimik wajahnya, seolah dia ingin berada di tempat lain. Seandainya jadi dia, saya pun akan begitu.

Sekelompok perempuan menenteng barang-barang belanjaan singgah ke kafe untuk sekadar mengistirahatkan kaki mereka. Seorang perempuan muda duduk sendirian, asyik membaca buku sambil tangannya memain-mainkan mangkuk salad. Pakaiannya rapi dengan sepatu yang cocok. Mungkin dia seorang pekerja kantoran yang sedang istirahat siang. Saya bertanya-tanya apakah ia punya pacar he he.

Lalu ada beberapa pasang muda-mudi. Ada yang melihat-lihat menu sambil sesekali berpegangan tangan. Ada pula yang tengah berdebat.. Yang lain duduk dengan tenang, menikmati makanan atau minuman mereka tanpa saling berbicara atau bahkan tanpa menyadari kehadiran yang lain.

Lalu ada lagi beberapa ibu dengan anak-anak yang rewel, sekelompok perempuan muda yang tertawa cekikikan dan mengobrol dengan suara keras, serta anak-anak muda yang tak pernah berjalan tanpa saling dorong atau tanpa ramai bersenda gurau.

Setiap kali, saya bertanya-tanya siapakah mereka, apa pekerjaan mereka, dari mana asal mereka, dan apakah mereka merasa senang, kesal, frustrasi, marah, bosan, ataukah puas dengan hidup mereka. Kadang-kadang, saya bahkan bisa merasakan apa yang sedang mereka rasakan: kegembiraan karena jatuh cinta, kekesalan karena tidak diacuhkan, dan kemarahan membara di balik sikap diam, kesepian, kebosanan atau sekadar kelelahan membesarkan bocah balita.

Duduk diam di tengah kehidupan ini membuat saya menyadari bahwa hidup ini bukan perlombaan melain kesimpangsiuran, dan kita sering kali tidak tahu bagaimana kita bisa sampai di sana dan bagaimana cara keluarnya.

Namun, barangkali saja, itu bisa kita atasi dengan menikmati petualangannya, menantikan tikungan dan belokan yang tak terduga, menerima apa pun yang kita temukan di pojoknya, dan menjelajahi jalan-jalan rahasianya. Tentu ada perspektif agama yang lebih menyejukkan untuk mencerna hal ini yang tidak saya bahas disini.

Kang Jay


“Siap dan tenanglah (sabar) atas apa pun yang menimpamu karena itu menjadi kemestian bagi orang hidup.” (QS. Luqman: 17)

Agar kita dapat bersabar dan menjadi penyabar yang disayang Allah, kita harus melakukan olah rasa agar perasaan mampu melawan kejadian yang tidak kita harapkan sehingga dapat kita kendalikan yanh akan menumbuhkan rasa menerima dan ridha, yaitu dengan keberanian untuk menelan yang pahit, yang getir, yang asam atau pun juga yang pedas sekalipun.

Karena hal yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus kita terima, sebagaimana firman Allah diatas.




Dengan kepandaian mengolah rasa akan menguatkan asa. Dengan menguatnya asa, semua yang pahit menjadi sirna dan tidak ada lagi yang dapat mengiris hati kita.

Contohnya ialah: bila sekelompok orang ramai memperbincangkan keburukan atau aib diri kita (ghibah), setelah kita mendengar adanya gosip-gosip itu sebaiknya kita berhenti sejenak, kemudian merenung, mengingat-ingat apa yang mereka gosipkan itu. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah benar saya melakukan apa yang mereka gosipkan itu?”.

Bila kenyataannya memang benar kita melakukan sebagian yang digosipkan dan sebagian lagi adalah tambahan fitnah, maka gosip gosip itu merupakan sanksi hukum atau hukuman yang dipercepat di dunia. Insya Allah kelak di akhirat akan mendapat ampunan. Oleh karena itu, kita tidak perlu bersedih atau marah, karena hal itu menguntungkan kita. Daripada kita marah, membalas atau menyerang mereka, kita akan mendapat kesulitan dengan merambah bahaya yaitu melakukan Dosa, bahkan menambah kesulitan, dan kita akan menjadi pencela, pemaki, sama seperti mereka. Sedangkan sikap seperti itu sangat dibenci Allah. Pahamilah firman Allah berikut ini:

“Celaka bagi pemaki dan pencela." (QS. Al-Humazah: l)

Itu adalah ciri penghuni neraka, yang suka memakan 'daging bangkai' orang lain karena umpatan-umpatannya. Oleh karena itu, lebih baik kita ridha saja, dengan ridha kita menjadi penyabar, karena Allah sayang kepada orang yang penyabar. Biarlah dibenci banyak orang, asal disayang pencipta orang.


Bila yang digosipkan tentang kita itu tidak benar, fitnah semata, itu berarti kita mendapat pahala kebajikan atau pahala ibadah tanpa berbuat.


Ingatlah tentara Iblis akan berusaha menipu daya orang lain yang berhati kosong dan lemah untuk memusuhi kita terutama disaat kita sering melakukan amar ma'ruf nahi munkar, ya disaat kita mengajarkan kebajikan untuk sesama.


Maka kita akan mendapatkan hasanah sebesar pahala umroh, tanpa berumroh, bahkan mungkin lebih besar lagi, tergantung apa yang digosipkan atau banyaknya yang digosipkan dan berapa besar sabar yang ridha dalam dada kita. Coba kita bayangkan, betapa kita lelah dan letih melakukan umroh dengan tenaga dan biaya yang besar. Kini hanya dengan mengolah rasa, mengubah pikir dan pola, menekan nafsu, kemudian menyambung cita rasa kepada Allah, kita akan menjadi tenang dan menerima kejadian pahit dengan dada lapang, dada yang bersih dari dendam dan benci. Dan hati kita tersenyum, wajah kita ceria, pahala bertambah. Allah memandang dengan mata kasih, nikmat dalam hati rasanya, tenang semuanya. Alhamdulillah.

Tidak mungkin bahagia tanpa kebeningan hati. Bahagia sudah ada dalam lubuk hati, namun tertutup oleh karat bekas maksiat dan kesombongan.

Sesungguhnya surga dunia itu ada dalam hati manusia. Itulah hasanah dunia, dan siapa pun yang mendapat surga hasanah dalam hati, dialah yang akan mendapatkan surga di akhirat kelak.

Untuk mendapatkan hasanah duniawi, kita hanya bermodal membersihkan lahan tempat hasanah itu bersemayam, yaitu pikiran dan perasaan yang bening.

Allah berfirman dalam Surat Asy-Syu’ara ayat 88-89: “Pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”

Selamat mencuci hati....

Kang Jay


Hari itu, tinjunya mendarat di pipimu. Dan, ini bukan kali pertama.

Polanya sudah mudah ditebak: Kau baru saja keluar dengan teman-temanmu yang tak dia sukai. Dia mengetahuinya. Kau berusaha memberi alasan. Dan, dia akan memukulmu. Kau berdiri gemetaran di pojok kamarnya. Napasnya naik-turun. Kau pergi meninggalkannya. Dia akan mengejarmu. Kau menangis. Dia meminta maaf, memohon-mohon. Jangan pergi, aku benar-benar janji nggak bakal ngelakuin ini lagi. Kau hanya bisa diam, nyaris mati rasa. Dan, dia tak akan pernah menyerah.

Seperti cerita yang sudah-sudah, kau akan menatap kedua bola matanya. Lalu, kau tenggelam di dalamnya, teringat kisah sedihnya di masa lalu. Keluarga broken home. Ayah yang selalu memakinya saat masih kecil. Ibu yang sering memukulnya. Ayah yang menikah lagi. Ibu yang menikah lagi. Keluarga baru yang tak menyukainya. Tersisihkan oleh keluarga sendiri.

“Aku cuma punya kamu,” lanjutnya, meluluhkanmu. Dan, kau akan memaafkannya.

Bukan karena kau sebodoh itu, bukan karena kau masih sayang kepadanya. Tetapi, karena kau adalah satu-satunya yang dia miliki. Kau tak tega. Lagi pula, bola matanya saat memohon maaf; terlihat seperti bibit-bibit perubahan yang baik. Mungkin, kali ini, dia akan berubah, pikirmu.

Sayangnya, dia tak pernah berubah. Padahal dulu dia tidak begini. Dulu, kisah cinta ini begitu indah.

Bermain Fisik sudah jadi ritual di kala emosinya memuncak. Ucapan maaf hanya jadi formalitas. Terlalu sakit untuk bertahan, terlalu cinta untuk melepaskan.

Memang, ada masa-masa ketika dia begitu perhatian. Membawakanmu makanan saat kau sakit. Meyakinkan keadaanmu selalu baik-baik saja. Menjemputmu pukul berapa pun. Menjauhkanmu dari orang-orang tak baik. Namun, sisi monsternya selalu muncul. Terutama saat kau melakukan apa yang dia tak lakukan. Berbincang panjang lebar dengan teman laki-lakimu di telepon, hanya untuk membicarakan sebuah tugas. Keluar bersama sahabat-sahabatmu yang tak disukainya tanpa alasan.

Teman-temanmu memintamu untuk melepaskannya. Namun, bola matanya yang menyimpan kesedihan; ucapan maafnya yang selalu terdengar tulus; kesendiriannya-membuatmu ingin bertahan.

Bahkan suara di dalam hatimu berkata, “Kamu harus mencintai dirimu sendiri juga.” Tetapi, teori selalu mudah diucapkan. Namun sulit dijalankan.

Kau selalu disakiti, tetapi selalu saja ingin kembali, kembali, dan kembali.

Saya berusaha mencari-cari alasan paling masuk akal: Mengapa kau melakukannya? Mengapa berat bagimu meninggalkannya?.

Religiously speaking, mungkin ada peran pasukan Iblis, yang memberi alasan padamu ingin kembali. Berpacaran adalah hubungan yang dilarang dalam agama kita. Sehingga syaitan sangat suka untuk menjadikan indahnya kesalahan ini. Terasa seperti candu. Setiap kali kau ingin meninggalkannya, seolah ada bisikan-bisikan yang berisi janji manis: Dia Bakal Berubah. Nggak ada cowok yang bisa menyayangimu seperti dia. Bagaimana dia bisa memperbaiki dirinya kalau kau tidak memberi kesempatan. Nanti kalau sudah menikah, pasti semua bakal baik.

Ini fenomena aneh, seperti jebakan nyata. Dalam hal yang dilarang, kau ingin selalu ingin kembali, kembali, kembali. Meski fisik dan mentalmu disakiti, kau terus bertahan. Sampai menikah. Namun, dalam posisi sudah halal seperti itu, kau baru merasa benar-benar tersakiti dan terpenjara. Dan, yang ingin kau lakukan hanyalah bercerai. Titik.

Religiously speaking, karena pasukan iblis akan menghasutmu untuk segera bercerai. Secepat dan sesingkat-singkatnya.

“Tidaklah aku tinggalkan (anak Adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan istrinya.” Maka, Iblis mendekatkannya seraya berseru, “Bagus benar dirimu.” [HR Muslim: 2813]. Sehingga Arasy bergetar, senanglah Iblis.

Jebakan yang amat-amat nyata.

Sayangnya, saat kau sudah menikah, tak semudah itu berkata putus.

Kau harus memikirkan nasib anak-anakmu. Keputusanmu akan mempengaruhi seumur hidupmu. Kau harus melalui birokrasi melelahkan, rentetan persidangan, dan dia yang berusaha menyulitkanmu dalam proses perceraian.

Ada penyesalan seumur hidup di depan matamu. Beruntung, hari ini, kau punya kesempatan untuk mengubah semuanya.

Memang berat, memang sulit, memang butuh perjuangan alot, tetapi.... apakah kau ingin menukar rasa sayang ini dengan penyesalan seumur hidup?.

Kang Jay


Pria AN tentu sudah banyak yang mengalami. Tapi kita pria selalu diajarkan oleh ibu kita untuk menjadi pria tegar, kuat dan bijak sehingga kita dipaksa menelan kesedihan sendiri. Ini adalah kisah sedih biasa terjadi.

Berlagak seperti korban, tetapi dia tersangkanya.

Dia wanita mengunggah kutipan-kutipan sedih seakan dia yang paling tersakiti. Tidakkah dia lupa pada seluruh ucapan menyakitkan yang dia lemparkan kepadamu dalam nada tinggi merendahkannya? Apakah dia lupa telepon tengah malam penuh perdebatan yang membuatmu sedih dan kecewa?

Dia bercerita kepada semua temannya tentang keburukan dirimu. Lupakah dia pada seluruh keburukan yang dia lakukan kepadamu? Mengatur hidupmu untuk tidak-begini tidak-begitu. Posesif yang tak masuk akal. Mengancam marah bila kau ingin menghabiskan waktu dengan hobimu sedikit lebih lama. Mempermainkan perasaanmu saat kau sedang jatuh-sejatuhnya pada dirinya. Selalu mencari cara agar kau memohon-mohon kepadanya, menangis kepadanya, dan dia akan memaafkanmu, setelah dia merasa puas mempermainkanmu. (Oh, tentu, dia menganggapnya: aku nggak mempermainkan dia, kok. Itu cuma ngetes apakah dia benar-benar sayang atau pura-pura).

Dalam hubungan tak dewasa seperti ini, akan selalu ada permainan "Sebenarnya Aku Korbannya, Dia Yang Salah". Dalam masalah seperti ini, selalu ada dua persepsi berbeda. Dan, aku tak ingin terjebak dalam permainan ini. Mari menjadi dewasa, introspeksi masing-masing, salah dirimu yang telah memulai sesuatu yang salah ini, lalu maafkan dirimu, maafkan dirinya, dan melangkahlah tanpa pernah menoleh ke belakang lagi.

Guys, you were wrong. Memang, kau mencintainya begitu dalam, memperlakukannya bak putri, saya sering mengingatkan di blog-blog saya sebelumnya bahwa para gadis untuk kuat berdiri dengan kaki mereka sendiri. Hal yang sama berlaku untukmu. Sebagai laki laki, sebagai manusia, kau harus mampu berdiri kuat dengan kakimu sendiri, tanpa bersandar dan bergantung pada cinta dari manusia-manusia ini. Supaya nanti saat patah hati melanda, kau tak seperti orang yang tersesat.

Girls, you were wrong. Memang, kau sering kali jadi korban dan pihak yang dirugikan. But that's not how you treat a human. That’s not how you treat yourself. Selama ini, kau bertanya mengapa hidup begitu kejam pada dirimu, tetapi kau lupa betapa kejamnya dirimu terhadap manusia lain dan dirimu sendiri.

Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia. Manusia bukan malaikat. Manusia melakukan kesalahan. Kalian telah memahami apa porsi kesalahan masing-masing. Dan, kalian masih punya waktu. Maka, ayo maafkan dirimu, maafkan dirinya, benahi dirimu, melangkah tanpa dirinya, kuatkan dirimu. Dan, jika kau tak tahu bagaimana harus memulai, mulailah dengan menghamparkan sajadah, ya mulai dari Dia yang Telah Menciptakanmu dan seluruh alam semesta ini; mohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sekarang, lihatlah ke depan, melangkahlah dengan berani, berhenti berlagak bagaikan korban, berperanlah layaknya pahlawan.

Makasih ya supportnya pada rekan-rekan AN untuk saya terus berkarya membuat blog.

Kang Jay

Ada yang kangen sepertinya, muach muach muach. Nongol bentar ah sambil ketik-ketik dikit.

Mohon maaf ya para Neng dan para Tante yang cantik-cantik semelohai calon bidadari surga, kakek ini melipir dulu sementara waktu, mau fokus ta'aruf, dan fokus di pekerjaan setelah Covid yang gila2an sibuknya.

Doakan sukses ta'aruf nya, udah beberapa kali belum jodoh, semoga ini yang terakhir.

Saya doakan semoga rekan-rekan seperjuangan yang selalu giat mentengin AN 24x7x365, bahkan semangat 17 Agustus 1945 berkonflik di blog AN padahal kenal aja kagak tapi seperti saudara dalam selimut eh maksud saya selimut ealah apalah itulah kasur busa, semoga segera mendapat jodoh semuanyah.

Salam untuk kang Feri, aku tahu hatimu baik, aku tahu kamu merasa tersakiti atas perbuatan teteh2 tante2 disini, tapi aku tahu rem mu juga udah blong he he. Yuk mari kita nikmati keindahan alam agar umur kita awet muda. Berkutat di AN kurang baik, setahun, dua tahun, lima tahun itu disini hanya serasa beberapa bulan saja. Monoton dibuai dunia maya AN ini akan "membahayakan" hidup kita. Boro2 jodoh yang ada musuh2 maya. Ayo ambil satu untuk dita'arufi, lalu jika perlu datang ke AN lagi saat mau ambil lainnya. Gitu aja.

Oiya untuk teteh2 tante2 jangan berkerumun gitu ah, kita pria2 jadi takut buka blog, bahkan saat saya bikin blog cuman 'hit & run' ngeri soalnya bahkan bikin kita pria super duper illfeel, isinya banyak yang menghujat cowok2 tipe-4 padahal kita kan cowok highclass yang prospektif he he he, gak level banget nget dan gak elit kemana2 saat kita dibanding2in ama cowok gituan. Cowok Indosiar kayak gitu, cuman cocok jadi pemain sinetron. Emang kita cowok apaan. Indonesia negara maju dan makmur karena banyak cowok baik, sukses, mapan, pekerja keras, dan family man. Coba buka mata, sekali2 jalan2 ke pusat2 perkantoran, liatlah pria2 sukses itu. Agar mindset berubah dan akan mengirimkan inner positif menarik pria2 sukses, bukan inner negatif muram gelap durjana menarik pria2 Indosiar yg berinner negatif juga. Kita pria suka wanita ceria, energik, dan bahagia. Bukan moody, kasar, galak, dan tidak menghargai orang lain. Mana sifat penyayang yang suka merawat anak???. Ada satu kiat digemari cowok yaitu walau suasana hati lagi muram durjana tetap diluar perlihatkan ceria, energik dan bahagia. Tapi alhamdulillah ada kok yang bikin kita pria kagak takut karena dunia kita pria bukan hanya di blog yaitu saat click Foto (bukan click Blog ya), isinya seger-seger bikin sejuk dimata &hati dan juga bikin semangat menafkahi. Terus semangat ya menambah koleksi fotonya, makin fotogenik deh kalian. Hai pria-pria highclass, salam underground.

Teruntuk kepada kartika dan sari, terima kasih telah menghiasi blog-blog ngasal ku. Yang aku suka dari AN adalah mudahnya dapat wanita calon ta'aruf saat tertarik di click Foto, penuh segudang wanita cantik2, baik2 dan sholehah yang bikin saya pusing sendiri, walau mereka silent namun setiap saya chat atau nginbox selalu dibales dan semua REAL, sangat fantastis, serasa semua pingin saya nikahi dan nafkahi. Mending melipir dulu daripada pusing liat yang seger-seger saat click Foto yang malah yg diincar kagak difokusin. Fokus fokus fokus ah.

Saya tahu dari berjuta penggemar, ada satu dua yang kurang suka padakuh, tak apa. Saya pede aja bahwa mungkin mereka syirik aja ama pria highclass seperti saya ini wkwkwkwkw. Pede abizzzz. Jangan muntah. Namun tenang, saya selalu doakan kalian saat sepertiga malam dan subuh. Percayalah, mencari musuh tu gampang tapi carilah sahabat yang menyejukkan hati dan selalu ada dalam suka dan duka. Coba cek seberapa banyak sahabat baikmu ????????

Jadi maafken jika ada salah kata terutama saat ngeblog magabut selama Covid, atau perbuatan atau tingkah yang kurang berkenan. Satu yang saya susah direm, bikin blog cinta-cintaan, maafken jika nanti nongol lagi dengan ide blog baru. Suka gatel gatel klo ga di ekspresikan.

Opung saya di samosir pernah bilang:
"Bergunalah bagi orang lain atau setidaknya tidak menyusahkan orang lain".
“Jika seorang manusia selalu membawa pemikiran yg tidak baik, maka sepanjang hidupnya pemikiran yg tidak baik itu akan mengikutinya kemanapun dia pergi. Jika dia tidak mau mengubah perangainya, maka dimanapun dia berada, tidak akan ada yang mau mendekatinya. Kebahagiaan selalu menjauh dari hidupnya….”.

Semoga kita menjadi manusia yang berguna dan berperangai baik.

Cemungut..

Kang Jay


Mungkin, mungkin saja, beginilah cinta di dunia ini.


la menempamu dengan kenyamanan yang membuatmu khawatir itu akan berakhir; kebahagiaan yang begitu dalam sampai-sampai kau takut kehilangan, lalu tersiksa dalam perasaan itu; cemburu yang mengiris hati; penolakan-penolakan kecil yang membuatmu sedih; perubahan tiba-tiba yang menghancurkan seluruh ekspektasimu; happy ending yang terasa seperti fatamorgana; kepergian dan rindu yang tak pernah diharapkan.


Cinta mengujimu, mengguncangkanmu, menjatuhkanmu sampai ke titik terendah. Hingga akhirnya kau bergumam, “Nggak ada yang sempurna ya, di dunia ini.”


Sejak ucapan itu, kau mulai berhati-hati. Setiap melangkah, kau ingatkan dirimu, “Nggak ada yang sempurna. Nggak ada yang sempurna.”


Jadi, kau mengurangi kadar harapmu, tak lagi mau tergila-gila pada apa pun di dunia ini. “Dunia ini fana, dunia ini fana,” batinmu.


Lalu, setiap kali cinta mengetuk pintu hatimu, kau berusaha tepis itu. Kau memblokade seluruh jalur agar cinta itu tidak menyelinap ke hatimu. Kau kurangi percakapan dengannya. Kau hapus pesan-pesannya. Kau balas pesannya, sedikit lebih lama. Kau hindari pertemuan dengannya. Kau hapus nomernya segera saat dia mulai jarang menghubungimu. Agar engkau lupa. Sampai dia meninggalkanmu. Meski berat, meski menyedihkan, kau tetap ingatkan dirimu, “Toh, kita hidup sendiri. Lahir sendiri. Mati sendiri. Mana bisa bergantung sama orang lain? Kalau udah dapat, lalu gimana kalau dia meninggal? Sama aja nggak bisa benar benar memiliki, kan? Pada akhirnya, aku tetap berjuang sendiri, kan?”.


Sejak hari itu, kau melangkah lebih mantap. Tak lagi menatap ke belakang. Mengabaikan gombalan-gombalan murahan. Berlari dari berbagai peluang cinta. Menganggap semua pria adalah madesu, mokondo, bahkan scammer. Mengira-ira tentang kejahatan cinta. Mencari-cari berita tentang laki-laki yang jahat dan tidak bertanggung jawab, diantara berjuta pria baik dan family man yang hari ini dibuai kebahagian ditengah keluarganya, seperti juga ayahmu seorang pria tua yang bahagia. Sadarlah, itu hanya angan-anganmu yang akan menjerumuskan dirimu kedalam lembah fantasi bahwa semua pria itu madesu dan jahat agar dirimu makin mantap menata hati tanpa cinta. Bahkan, engkau tambah makin semangat saat tahu bahwa ternyata banyak wanita yang senasib denganmu, yang bersama mereka makin menggiring jiwamu menyalahkan cinta yang fana.


Sayangnya, oh sayangnya, aku tahu hatimu begitu lemah dan rentan.


Melangkah sendiri melelahkanmu. Kedua kakimu seolah menjelma jadi kayu-kayu rapuh yang hanya butuh sepuluh langkah untuk patah.


Hatimu selalu cenderung untuk berharap. Namun, hatimu juga lelah berharap. Maka, yang bisa kukatakan kepadamu adalah...


Jangan lawan perasaanmu apalagi melawan dunia. Perasaan itu normal. Namun, arahkan harapanmu pada hal-hal yang kekal, yang tak akan mengecewakanmu.
Manusia dan kehidupan duniawi ini... tak ada yang kekal; tak ada yang sempurna.


Adakah yang bisa kau harapkan dari mereka... jika kau ingin kebahagiaan sempurna?.


Ayo cintaku, mulai cari atau beli sajadah dan hamparkanlah, malam ini juga duhai kasihku sayangku.


Kang Jay.


Hidup di Jakarta membuat Rita tidak mudah membesarkan buah hatinya. Semenjak suaminya meninggal karena kecelakaan, ia harus kerja keras demi mendapatkan rupiah untuk menyambung hidup bersama putra semata wayang dan bisa membayar kontrakan tiap bulan.


Rita tak berani pulang ke kampung halamannya di Sragen karena tak ingin menjadi beban orang tua. Kehidupan orang tuanya di kampung pun sudah sulit, ia tak ingin menambah beban mereka.


Reza, anak laki-laki yang baru berusia dua tahun adalah harta yang paling berharga. Anak itu menjadi sumber kebahagiaan setelah suami yang dicintai pergi untuk selama-lamanya.


Rita rela bekerja keras, salah satunya menjadi seorang buruh cuci pakaian agar bisa membeli susu untuk perkembangan putranya. Selepas Rita menyapih Reza dari ASI, ia tetap berusaha memberikan susu untuknya. Hanya sebagai buruh cuci pakaian yang dapat ia lakukan karena bisa dikerjakan sambil memantau anaknya.


Wanita yang memiliki lesung pipi itu tak ingin menitipkan Reza pada tetangga saat bekerja karena sebagai seorang ibu ia selalu merasa khawatir jika putranya diasuh oleh orang lain. Terlebih dengan adanya pemberitaan tentang penculikan anak membuat Rita bergidik jika harus meninggalkan anak semata wayang saat bekerja.


Rita selalu membawa Reza kemana pun ia bekerja. Walau ada salah seorang tetangga yang merasa iba dan menawarkan diri untuk menjaga Reza, tetapi wanita itu tetap dengan pendiriannya. Ia tak ingin merepotkan dan menjadi beban bagi orang lain.


Pagi ini Rita harus mengantarkan pakaian bersih pada pemiliknya karena Bi Sri yang biasa mengambil memberitahukan bahwa ia sedang menemani anaknya di rumah sakit. Di perjalanan tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang lelaki yang dulu pernah dekat dengannya.


"Rita, bener kan kamu Rita?" tanya seorang pria yang sedang lari pagi terlihat lengkap dengan setelan kaus dan sepatu olahraga yang ia kenakan. Tampak gagah.


Rita mengerutkan kening seraya mengingat kembali siapa pria yang ada di depannya.


"Kamu ... Mas Ardi?"


"Betul. Jadi Mas nggak salah lagi kamu bener Rita?" Ardi tersenyum lebar.


"Iya, aku Rita." Rita membalas senyuman Ardi.


Ardi mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Rita menyambut uluran tangannya.


"Apa kabar? Dia anakmu?" Ardi menunjuk Reza yang berada di gendongan Rita.


"Baik. Iya dia anakku. Mas sendiri apa kabar?"


"Aku baik juga. Lama ya kita nggak jumpa." Mata Ardi tampak berbinar. Ia merasa bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang pernah singgah di hatinya.


"Iya. Mas tinggal di sini juga sekarang?"


"Ya. Setelah peristiwa waktu itu Mas mencari kesibukan sendiri. Mengirim beberapa lamaran pekerjaan akhirnya diterima di perusahan di kota ini."


"Oh." Rita tersenyum kecut karena ia sadar peristiwa itu ada sangkut paut dengan dirinya.


"Kamu mau kemana?" tanya Ardi.


"Aku mau mengantarkan pakaian ini. Aku jadi buruh cuci." Rita menelan ludah seraya mengangkat pakaian di keranjang yang ia jinjing.


Terlihat raut kesedihan dari wajah Ardi. Ia tak menyangka perempuan yang dulu ia cintai harus bekerja keras seperti itu.


Dulu ia pernah meminta Rita untuk menikah dengannya, tetapi Rita lebih memilih lelaki yang dijodohkan oleh orang tua. Ardi merasa terpukul atas keputusan wanita yang dicintai itu hingga ia mencari kerja di ibu kota agar bisa melupakannya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali. Ia yakin benar perempuan di hadapannya kini sebenarnya masih menyimpan rasa. Terlihat dari binar mata perempuan itu saat menatap.


"Kamu jadi buruh cuci? Suamimu masih kerja 'kan?" tanya Ardi heran padahal setahunya suami Rita adalah seorang pegawai.


"Suamiku meninggal karena kecelakaan, sudah satu tahun yang lalu," ucap Rita lirih menahan air mata karena diingatkan kembali tentang suaminya.


Awal pernikahan dengan suaminya, Rita belum merasakan ada getar cinta. Dulu, ia terpaksa menikah karena perjodohan. Selang dua tahun pernikahan dan lahir buah hati mereka, Rita mulai mencintai suaminya.


Saat usia Reza beranjak satu tahun, Rita benar-benar mencintai dan menyayangi lelaki pilihan orang tua sepenuh jiwa. Namun, takdir berkata lain, Allah lebih menyayangi lelaki yang ia cintai sehingga kecelakaan itu merenggut nyawa ayah kandung Reza. Rita merasa terpukul saat itu. Ia menyesal tidak mencintai suaminya sejak pertama menikah.


"Maaf. Aku nggak bermaksud--"


"Enggak apa-apa kok, Mas nggak perlu merasa enggak enak gitu."


"Terima kasih."


Rita mengangguk. "Aku pergi dulu ya mau mengantarkan baju ini."


"Sini aku bantu. Kamu sepertinya kerepotan."


Ardi hendak meraih keranjang baju di tangan Rita, tetapi Rita menolaknya.


"Enggak usah, nanti Mas repot."


"Sudah nggak apa-apa. Aku bantu."


Ardi tetap memaksa untuk membantu Rita mengantarkan baju. Mereka berjalan bersisian. Sesekali Reza bersikap rewel dan terus menggapai tubuh Ardi seperti ingin digendong olehnya. Reza merasa rindu pada sosok ayah.


"A-a-a ... yah." gumaman Reza pada Ardi


"Sepertinya anakmu ingin aku gendong. Sini berikan padaku!"


Ardi meraih Reza dari gendongan Rita. Seketika Reza terdiam. Reza terus tertawa sambil mengusap wajah dan mencubit hidung Ardi.


"Maaf ya, Mas. Anakku biasanya nggak begitu."


"Enggak apa-apa lagipula aku suka anak kecil."


Rita merasa kagum pada sosok Ardi yang dulu sempat ditolak olehnya. Ia merasa bersalah pada Ardi, tetapi itu sudah masa lalu yang ingin ia lupakan.


"Kita sudah sampai, Mas. Makasih ya sudah bantu aku." Rita mengambil kembali Reza ke gendongannya.


"Lho, ini kan rumah Mas. Jadi baju-baju yang sering aku titipkan agar di-laundry pada Bi Sri kamu yang mencucinya?"


"Apa? Iya aku menerima cucian kotor dari Bi Sri. Aku yang minta padanya. Kebetulan tadi Bi Sri nggak sempat ke rumah untuk mengambil baju bersih, jadi aku antarkan sendiri."


"Ya Allah, aku nggak nyangka bisa kebetulan gini." Ardi terkekeh.


"Memangnya istri Mas ke mana? Kok lebih milih laundry baju?" tanya Rita ragu.


"Mas belum menikah." Ardi berkata jujur lalu tersenyum kecut.


"Oh, maaf."


"Enggak perlu minta maaf. Memang Mas belum mendapatkan jodoh aja," ucap Ardi lalu terkekeh.


"Semoga nggak lama lagi dapet jodoh ya."


"Aamiin. Semoga setelah kita bertemu lagi ada jodoh buat Mas. Jodoh yang dulu sempat tertunda," ucap Ardi yang tak lepas menatap Rita.


Rita merasa salah tingkah mendengar ucapan Ardi. Ia pamit pulang tak ingin berlama-lama bertemu lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya dan mengenang kembali kisah yang telah lalu.


Semenjak Ardi berjumpa kembali dengan Rita, ia selalu mencari kesempatan untuk bertemu kembali. Bahkan ia rela mengantarkan cucian kotor hanya demi bertemu dengan wanita yang masih dicintainya itu.


Ardi pun sudah merasa dekat dengan Reza. Ia merasa bahwa Ardi adalah ayahnya. Reza akan terus rewel pada Rita jika belum bertemu dengan Ardi.


Ardi yang pada dasarnya suka anak kecil, ia merasa sangat senang saat ternyata anak Rita pun menyukainya. Lelaki itu merasa ada jalan untuk bisa memiliki Rita kembali.


Ardi sudah memantapkan hati...


Rita tetap mengajak Reza untuk mengantarkan baju ke rumah Ardi. Wanita itu merasa gugup saat akan bertemu kembali dengan lelaki yang dulu pernah ia cintai. Sedari tadi jantungnya terus berdebar. Ia merasa heran dengan tingkahnya sendiri.


Tiba di rumah Ardi, Rita disambut oleh Bi Sri.


"Assalamualaikum, Bi Sri."


"Waalaikumsalam. Kok repot-repot diantar ke sini. Baru aja Bibi mau ke sana."


"Enggak apa-apa, Bi. Kebetulan mau sekalian ke warung besar di ujung jalan sana. Mau belanja bulanan, biasa Bi biar nggak bolak-balik."


"Oh begitu. Ya sudah terima kasih ya bajunya sudah diantarkan."


"Iya, Bi. Sama-sama. Aku pamit dulu ya, Bi. Assalamualaikum."


"Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nduk!"


Rita menganggukkan kepala dan tersenyum pada Bi Sri. Dia sudah menganggap Bi Sri seperti ibunya sendiri. Di kota ini Bi Sri sangat perhatian padanya. Terkadang Bi Sri melebihkan upah mencuci untuknya dan membelikan susu untuk Reza.


Saat Rita hendak melewati pintu pagar, ada seseorang yang menghalanginya.


"Rita, tunggu. Ada yang ingin Mas bicarakan."


Rita menoleh pada sumber suara, ternyata Ardi.


"Eh, Mas ada di rumah?"


"Ya, Mas sengaja menunggumu. Ikut aku sebentar saja."


Rita menganggukkan kepala lalu mengikuti langkah Ardi.


"Duduklah!"


Rita menuruti perintah Ardi. Ia duduk di sebuah kursi yang berada di sisi taman. Ardi mengajaknya di taman samping rumah. Di sana terdapat berbagai macam tanaman yang sangat terawat. Rupanya Ardi sangat menyukai berbagai jenis tanaman bonsai dan tanaman buah dalam pot. Ada pohon kelengkeng yang sedang berbuah lebat walau ditanam di dalam pot. Di sampingnya terdapat kolam ikan yang sangat menarik dengan pancuran air di tengah-tengah kolam. Pinggiran kolam terdapat berbagai macam tanaman bonsai. Tempat yang sangat nyaman.


"Ehm."


Ardi mengejutkan Rita. Dari tadi Rita lebih memperhatikan sekeliling taman yang begitu bersih dan terawat.


"Iya, apa Mas?"


"Mungkin bagi kamu ini terlalu cepat, tetapi enggak bagi Mas. Mas telah lama menunggu moment ini." Ardi menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. "Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku."


"Apa, Mas?" Rita tampak terkejut dengan pengakuan Ardi yang tiba-tiba.


"Hiduplah denganku melanjutkan kisah cinta kita yang sempat tertunda!"


"Aku hanya seorang janda, Mas. Janda beranak satu," ucap Rita lirih.


"Ya, aku tahu. Hiduplah denganku! Walau kamu janda beranak satu, aku tak peduli. Aku mencintaimu. Rasa cinta ini masih sama seperti dahulu."


Rita menelan ludah dan ia menitikkan air mata. Ia merasa sangat bahagia ternyata Ardi masih mencintainya. Namun, di satu sisi ia merasa sedih karena tak ingin mengkhianati cinta suaminya yang telah meninggal.


"Aku tahu kamu pasti berat. Kamu tak ingin mengkhianati suamimu yang telah meninggal, tapi kamu dan Reza berhak bahagia dan melanjutkan kehidupan dengan lebih baik."


Rita semakin terisak mendapatkan kenyataan Ardi mengetahui apa yang ia rasakan. Reza merasa heran dan ia pun ikut menangis.


"Bagaimana, maukah kamu menikah denganku?"


Rita menganggukkan kepala.


"Aku butuh suaramu langsung."


"Ya, aku bersedia hidup denganmu Mas walau aku hanya seorang janda beranak satu dan buruh cuci baju. Semoga Mas enggak menyesal memilihku."


"Alhamdulillah." Ardi mengusap muka. "Nanti setelah kita menikah, kamu enggak akan lagi jadi buruh cuci baju orang lain. Aku tak ingin kamu kelelahan."


Rita tersenyum dan mengangguk. Ia merasa sangat bahagia memiliki calon suami yang begitu baik dan perhatian padanya.


Ardi mengangkat Reza dan menciuminya. "Mulai sekarang Dek Reza panggil Om dengan sebutan ayah. Coba panggil aa-yah!"


Reza mengikuti ucapan Ardi. Rita tertawa melihat tingkah Reza dan Ardi.


Mereka akan menjadi keluarga seutuhnya.


Saat cinta dipegang utuh tanpa berusaha menodai kesuciannya, maka cinta sejati akan dipertemukan kembali. Menangislah dalam doamu untuk segera menemukannya. Hiks.


Kang Jay

Teh

<p style="margin:0;">Bila kita merasa sedang memikul beban berat, kita akan takjub betapa duduk-duduk minum teh hangat bisa membantu meringankan beban itu. Paling tidak untuk saya, secangkir teh bisa memberikan pengaruh luar biasa. terutama di pertengahan pagi dan siang hari pada waktu saya merasa perlu rehat sejenak dari beban pekerjaan sehari. </p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Tentu saja, ada orang yang lebih memilih secangkir kopi, tetapi untuk peminum teh seperti saya ini dan mereka yang lebih suka minuman yang tidak terlalu mempercepat degup jantung, melainkan mencari relaksasi dan kejernihan pikiran, secangkir teh terasa lebih pas. Dan dalam hal ini saya tidak menyarankan semua jenis teh yang sudah lama diseduh dalam air panas dan dikacaukan pula dengan sesendok penuh gula sampai yang terasa di indra pengecap hanyalah kemanisan yang membuat gigi ngilu. </p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Alih-alih, pilihlah jenis teh dengan seksama. Sebaiknya pilihlah teh hijau yang mengandung beragai zat antioksidan dan manfaat untuk kesehatan kita. Masukkan teh celup atau bubuk daun teh ke dalam poci yang sudah lebih dulu dipanaskan dengan air panas dan tuangkan air mendidih. Biarkan teh terseduh selama beberapa menit sebelum menuangkannya ke dalam cangkir. </p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Saya tidak menyarankan penambahan susu atau gula. Bukan juga teh berkualitas tinggi, kegemaran saya adalah teh hijau melati, akan membuai lidah dengan citarasanya yang lembut tapi kuat dan melingkupi diri kita dengan perasaan relaksasi yang nyaman dan menenangkan. </p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Begitu teh yang baru diseduh sudah tersaji di depan kita, seruputlah sedikit, rasakan aromanya di mulut sebelum menelannya, pejamkan mata agar dapat menikmati sensasi hangat di lidah dan duduklah dengan nyaman untuk merasakan efeknya seutuhnya. </p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Tak lama, kita akan merasa bahwa beban berat dengan segala masalah dan kecemasan yang menyertainya pun terangkat, membuat kita merasa tenang dan berdamai dengan diri sendiri. Lelah raga, lelah hati, lelah rindu dan kangen eeaa akan hilang dengan perasaan nikmat ini. Apa lagi yang kita dambakan selain perasaan nikmat ini?.</p><p style="margin:0;"><br />

</p><p style="margin:0;">Kang Jay</p><p style="margin:0;"><br />

</p>


Mungkin suatu ketika, kita pernah merasakan hal ini, Tak Berubah. Waktu terasa berjalan sedemikian cepat, baru beberapa waktu yang lalu kita ulang tahun, tapi sekarang sudah mau ulang tahun lagi. Parahnya, pergantian usia itu terasa statis. Tidak ada perbedaan yang berarti antara kita setahun yang lalu dan kita di tahun ini.


Kita mungkin pernah merasa, waktu berjalan begitu cepat, tetapi tidak ada nilai tambah di dalam diri kita. Baik itu pertambahan ilmu, pertambahan kualitas dan kuantitas ibadah, pertambahan kontribusi bagi sesama, pertambahan kondisi finansial, dan lain-lain. Yang ada hanya tambah tua, tapi kita tak tambah yang lainnya. Singkatnya, kita tetap seperti yang dulu.


Jangan keburu bangga ketika bertemu dengan kawan yang lama tak berjumpa, setelah ngobrol panjang lalu dia bilang, “Kamu tetap kayak dulu. Nggak ada yang berubah”. Karena tidak berubahnya kita bisa jadi adalah kesalahan kita dalam mengisi usia selama ini. Masa kita setahun yang lalu sama dengan kita di hari ini? Ini, kan rugi. Mengapa rugi? Gimana nggak rugi, kita makin mendekati kubur, tapi kita tidak semakin baik dari hari ke hari.


Ada yang mengatakan bahwa waktu adalah uang. Di lain tempat ada yang bilang bahwa waktu adalah emas. Bahkan nasihat bijak mengungkapkan bahwa waktu adalah pedang. Bergantung pada siapa pemegangnya, bergantung pada siapa pemilik dan pengendalinya.


Dua orang prajurit yang sama-sama punya pedang, tetapi hasilnya bisa berbeda. Yang satu bisa jadi mengalahkan lawan-Iawannya, yang satu bisa jadi tertebas oleh pedangnya sendiri.


Begitu juga kita. Masing-masing kita sudah dibekali dengan waktu. Tinggal terserah kita. Waktu itu kita gunakan untuk aktivitas yang baik atau yang buruk. Yang pasti, baik kita isi untuk hal yang hebat atau untuk perkara yang tidak penting, waktu kita tetap berjalan menuju titik nol.


Silakan Anda renungkan sejenak, apa sih hakikat waktu bagi kita? Ya, waktu yang kita jalani detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari, hakikatnya adalah perjalanan usia kita. Kalau detik demi detik itu kita anggap remeh, sehingga ludes untuk hal yang tak penting, maka hakikatnya kita sedang membiarkan usia kita tergerus untuk yang tak penting.


Begitu juga sebaliknya, ketika kita menghargai detik demi detik waktu yang kita jalani, saat itu pula kita sedang menghargai umur kita. Penghargaan terhadap umur adalah salah satu wujud syukur kita kepada Allah yang masih memercayakan pada kita usia hingga hari ini.


Karena waktu adalah amanah atau titipan, maka perjalanan usia ini nantinya akan kita pertanggungiawabkan di hadapanNya. Berupayalah sebaik mungkin untuk memanfaatkan waktu seproduktif mungkin. Semoga ketika kelak Allah bertanya tentang untuk apa umur kita habiskan, kita bisa menjawabnya dengan jawaban yang elegan.


Kang Jay

Pages: « Previous ... 16 17 18 19 20 ... Next »
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo