Sedikit ketik-ketik request dari neng Fit.
Bagi keluarga muda uang adalah hal sensitif untuk dibicarakan, ego seperti saat single belum sepenuhnya hilang. Sehingga perlu ada komunikasi. Kita dan pasangan kita bisa duduk berdua sambil menyeruput kopi atau teh dan berbincang-bincang masalah keuangan saat ini dan masa depan.
Keluarga muda ini bukan berarti muda dalam usia, namun muda dari kapan pernikahannya. Walau misal saya menikah lagi, maka itu juga keluarga muda, apalagi mulai dari nol banget. Itu parah sih jika mulai dari nol untuk seumuran saya, selama 20 tahun kemana aja, tidur@#$%& what the f@#$%^. Tapi tenang walau mulai dari nol, ingat ada pepatah bilang life begin at forty ha ha ha.
Kadang keseganan untuk membicarakan keuangan bisa jadi bom waktu dimasa depan. Lebih baik saat masih baru menikah buatlah kesepakatan awal tentang pentingnya perencanaan keuangan. Tentukan siapa bendahara yang bertugas mengelola keuangan, yang bertanggung jawab membayar tagihan listrik, telepon, cicilan dan lainnya. Tentukan juga uang siapa atau uang darimana yang akan digunakan untuk apa.
Biaya yang cukup besar yang umumnya dihadapi keluarga muda misalnya persiapan DP untuk KPR, biaya persalinan, biaya anak masuk playgroup, kredit motor/mobil, biaya liburan, dan lain sebagainya.
Pastikan setelah 1 tahun menikah ada dana darurat untuk antisipasi hal-hal yang tidak terduga. Untuk keluarga muda, sediakan dana darurat setelah tahun pertama minimal 2 kali pengeluaran rutin bulanan termasuk cicilan apapun. Ditahun kedua minimal 4x, dan ditahun kelima dan seterusnya minimal 6x. Kalau saya lebih suka bentuknya emas batangan dan disimpan di brangkas rumah, pertimbangannya lebih tahan terhadap inflasi bahkan nilainya selalu naik. Kita harus konsisten, pakailah dana darurat untuk hal tak terduga, seperti jika terkena PHK, biaya pengobatan karena kecelakaan, atau terjadi musibah yang menyebabkan tidak bisa bekerja. Contoh dimasa Covid ini, sangat lumayan kan bisa bertahan dalam 6 bulan sambil rebahan karena nasib misal kena PHK atau usaha sulit.
Sebenarnya ada pengaman lainnya yaitu memiliki Asuransi. Namun pengalaman saya ikut Asuransi itu mubazir jika kantor juga mengcover Asuransi, bahkan 20th saya ikut asuransi plus embel-embel investasi namun yang didapat tidak seberapa. Berpuluh tahun cuman dapat beberapa puluh juta jika dicairkan, padahal dulu promosinya ratusan juta. Bahkan asuransi kesehatan dari kantor yang lebih sering saya gunakan. Apalagi sekarang ada BPJS Kesehatan yang wajib di ikuti, sehingga jika sudah ada Asuransi BPJS dan dari kantor maka saya sangat sarankan jangan tergiur ikut Asuransi lain dengan embel-embel investasi miliaran. Bikin sakit hati @#$%&* ha ha. Itu fakta, gara-gara dulu agen asuransinya neng geulis dan imut pisan euy.
Setelah lima tahun pernikahan, biasanya sudah mulai stabil tuh. Mungkin sudah punya anak, sudah mulai mencicil KPR bahkan mencicil Mobil. Gaji juga sudah naik sehingga sebelumnya cicilan 35% gaji sudah menjadi 20%. Saatnya mulai memikirkan investasi masa depan. Saat ini banyak instrumen investasi yang memberi keuntungan lebih dari inflasi. Seperti deposito, reksadana, saham, obligasi, hingga emas.
Kalau saya sebagai orang old, suka pusing jika harus mikir tentang saham, reksadana, obligasi apalagi trading online jadi saya tidak pernah mencoba itu semua. Deposito sudah saya coba tapi paling lemah terhadap inflasi, cuman setara saja. Nah pilihan terampuh yang selalu saya buktikan tangguh berpuluh tahun adalah investasi Emas. Jadi jika punya uang lebih (istri) buru-buru beli emas di Butik Antam, jika sudah kekumpul misal 100 gram maka akan disimpan dideposit box di Pegadaian. Ingat!!! Emas baru berkilau setelah disimpan minimal 2 tahun, sebelum itu jangan dijual. Kasih target untuk anda investasi, percaya tidak percaya alias ajaib alias aneh ada aja uang datang untuk di investasikan, si Emas seperti bisa manggil temannya Emas lain lagi dan lagi. Bingung aing. Oiya, Butik Antam tersebar dimana-mana, eh kalau di Jakarta area sih he he.
Kemudian setelah beberapa ratus gram, misal setelah 5 tahun, maka akan saya cairkan dan saya belikan rumah untuk dikontrakkan. Jadi dari investasi Emas jadi investasi Rumah. Tekun aja nabung emas, saya (eh istri) dulu menabung dari 2 gram, kemudian 5 gram. Saya pandang-pandang itu emas ditaruh dibawah bantal agar berbuah, kemudian paginya saya ambil dan pandang-pandang lagi, ee tidak terasa kekumpul ratusan gram. Mulai takut disimpen dimana, awalnya saya simpan dibrangkas dan ditempatkan di bawah atap rumah ha ha. Tapi kemudian saya memilih Pegadaian walau ada uang sewa deposit, tapi masih seimbang dengan kenaikan harga emas.
Oiya ada tips dari pengalaman hidup, saya tidak menyarankan gonta-ganti mobil. Itu pemborosan banget nget. Memang terlihat prestasi jika pulang kampung bawa mobil bagus, namun percayalah mending ngakali sewa mobil mewah ha ha, itu benar-benar saya lakukan dan berlangsung berpuluh tahun ha ha. Sampai istri dulu suka pilih sendiri tahun depan mudik pakai mobil apa ha ha. Sedangkan di rumah, punya sih mobil sekelas Kijang tapi itu-itu saja yang dipakai berpuluh tahun, nyicil mobil dari gress jadi tau sejarah perawatannya, itu mobil tidak pernah rewel dan tangguh kemana-mana, walau rada boros sih. Mengapa kagak gonta ganti, karena tau rasanya nyesek nyicil misal mobil 100jt dicicil dengan bunga jadi 160jt, udah gitu pas masa itu sempet kena phk pula jadi makin nyesek nyicilnya. Kapok nyicil. Tapi saya masih suka nyicil motor sih ha ha, praktis dan simpel soalnya tinggal gesek visa 2jt trus tanda tangan gak jelas ee sehari kemudian motor dianter, ee gak kerasa 2th motor lunas. Mikir lagi deh nyicil motor apa, asyik uhuy, padahal itu motor sebelumnya dua tahun kilometer dibawah 500 saking cuman jadi pajangan. Yah itulah sifat orang yang susah direm, yaitu konsumtif, puas dari beli barang padahal dipakai juga kagak. Jadi inget artis-artis beli tas branded puluhan dengan harga fantastis, terus pakenya kapan, kalau dari jauh sih mirip tas beli di mangdu.
Teman kantor saya yang selevel ada yang uangnya seakan dihamburkan hanya untuk sebuah mobil, saya inget sekali dulu mobil yang dia beli starlet dari hasil uang pensiun kena phk, setelah kerja kemudian kredit yaris 4jt perbln, jual lagi kredit kijang 5,5jt perbln, jual lagi kredit pajero sport 10jt perbln, sekarang jual lagi kredit crv turbo 12jt perbln dan istrinya kredit jazz rs 5jt perbln. Tapi rumah cuman satu, dan satu-satunya. Ya tiap orang beda-beda sih, kepuasan dia mungkin di mobil. Toh harta juga tidak dibawa mati. Tapi ini kan lagi bahas keuangan, bukan bahas cara ngumpulin pahala bekal akherat, nanti dibahas blog beda tentang tujuan akhir hidup menuju surga ya neng.
Lanjut, bagi yang suka bisnis mungkin bisa diputar tabungan atau investasi tersebut. Namun saya tidak terlalu suka bisnis, soalnya gampang kasihan dan mudah ditipu. Intinya sih masih fokus jadi pegawai dan pengajar. Saking gampang ditipu, sampai-sampai istri saya dulu bilang kesaya, "Bang klo abang gak nikah ama aye nih ye bang, abang bakal miskin kaga punye ape-ape". Emang sih yang suka beli emas bukan saya tapi istri hwahaha. Hemat mat mat bin kopet pet pet. Tapi hasilnya fantastis, yah bagi saya yang cuman buruh biasa dengan penghasilan biasa, bukan direktur, pengusaha apalagi sultan. Saya sering terngiang2 kata-kata istri kalau ngatain saudara2nya dibelakang, "orang kalau mau kaye ye nabung, gaji berapepun besarnye kalau kaga nabung ye miskin aje terus, miskin kok dipiara, mending piara kambing trus bunting bisa dijual anaknye". Ngablak dah, mangapppp.
Untuk semacam bisnis kecil2an yang dijalani, saya paling jual beli rumah, yah rumah yang saya beli dan sudah direnovasi jika harganya makin bagus maka saya jual untuk kemudian beli rumah ditempat lain dan jika bagus juga maka saya jual lagi. Begitu seterusnya. Bisnis kontrakan kalau saya rasa tidak seberapa menjanjikan, yah cuman buat bulanan, namun sayapun punya rumah sekedar untuk investasi masa depan untuk anak cucu, atau suatu saat diusia tua butuh uang untuk biaya hidup kan tinggal jual salah satu rumah kemudian simpan dalam bentuk emas yang dijual tiap bulan misal 10 gram bisa lah buat 10 tahun, kemudian 10th kedepannya begitu lagi, maklum bukan ASN yang punya pensiunan bulanan. Tapi nanti habis dong rumahnya? Ya kan emang investasi itu untuk jaring pengaman hari tua. Ya udah bukan 10 gram tapi 5 gram buat sebulan, hemat saat pensiun. Akhir-akhir ini ada Asuransi menawarkan ke saya program pensiun, tapi saya tolak mentah-mentah, kapok.
Begitu sekelumit nasehat ya neng Fit dari orang tua ini yang sudah pernah menjalani rumah tangga selama hampir 20 tahun, yang pernah jatuh bangun seperti kena PHK namun selalu berusaha bangkit lagi. Bukan sombong, karena saya juga cuman buruh biasa saja dikelas menengah, namun saya sekedar menceritakan pengalaman tentang manajemen keuangan keluarga yang pernah saya jalani, barangkali menginspirasi. Jika pun tidak sekedar bacaan sambil makan kwaci.
Ingat nasehat utama manajemen keuangan keluarga dari om: selalu punya tabungan 6x gaji MINIMAL, kalau kagak kelar idup kita he he.
Kang Jay
"Woi Kang, kami disini lagi pusing mikirin cari pasangan halal, bukan pusing mikirin rumah tangga". Ha ha ayolah ditengah kesibukan mencari pasangan disambi mempelajari bagaimana memanage keluarga kita dimasa depan menjadi baik.
Walau berkesan sederhana namun management rumah tangga ada baiknya dipelajari juga.
Memang model suami-istri sama sama bekerja ini bukan model yang umum ditemui dalam cerita dongeng, seperti cinderella dengan sang pangeran, sehingga tidak mudah mencari model panutan. Panduan keilmuan untuk model ini pun belum banyak bahkan juarang. Walau kenyataannya buanyak terjadi.
Bahkan banyak pria yang sebelumnya saklek bilang ke wanita ta'arufnya, "Saya ingin istri seorang ibu rumah tangga". Titik tidak pake koma. Si wanita karena sudah suka dan kagum, mengiyakan sambil ngomong dalam hati, "Yah gimana entar aja, cari cowok model 'dapuran' ginian yang baik dan mapan itu susah, bodo amat", ha ha ha. Ee setelah berjalannya waktu ternyata benar dibenak sang wanita tentang "gimana entar", akhirnya si pria menyadari bahwa istri bekerja ada baiknya juga. What next setelah dapat lampu hijau?.
Memang kalau saya, dulu, menerapkan model konvensional suami bekerja istri ibu rumah tangga. Karena istri memang tidak suka bekerja diluar. Namun saat ini saat saya jomblo mulai memikirkan model suami-istri bekerja, dengan simulasi jika saya mendapatkan istri bekerja atau istri yang ingin bekerja setelah nikah. Walau terdengar aneh, istri ingin bekerja setelah nikah, tapi kan bisa saja terjadi ha ha ha.
Lalu pemikiran berikutnya, untuk suami-istri bekerja apakah bisa urusan keluarga dan pekerjaan dibalance?.
Saat ini semakin banyak suami istri sama-sama bekerja. Sebabnya bisa macam-macam. Seperti: si istri sudah terlanjur bekerja sejak sebelum menikah, terlanjur punya karir bagus di tempat kerja. Atau dari keluarga yang sangat concern dengan pendidikan sehingga saat dewasa, dia terinspirasi perempuan-perempuan yang berkiprah di wilayah publik seperti Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, dll.
Sementara, si suami biasanya memberi ijin istrinya untuk bekerja, karena: memahami harapan tinggi orang tua istri yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi, memahami bahwa istrinya punya potensi untuk berkembang dalam karir, memahami istrinya ingin independen secara finansial, atau untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari misal suami meninggal atau kena PHK.
Jadi, istri bekerja itu bukan semata-mata masalah aktualisasi, gengsi atau sekedar masalah finansial. Barangkali ada cerita panjang di balik itu semua.
Meski suami-istri sama-sama bekerja, seringkali tipe manajemen yang diterapkan masih tipe manajemen model istri di rumah-bapak bekerja, di mana suami berharap mendapat pelayanan seperti suami yang lain yang istrinya IRT. Suami memfokuskan diri mencari nafkah dan menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada istrinya. Si istri pasrah saja dengan keputusan suami, karena memang biasanya keluarga lain juga begitu.
Namun karena si istri bekerja, tidak banyak waktu yang dia miliki untuk mengurus pekerjaan rumah yang seabrek itu; mulai urusan baju kotor, masak, bersih-bersih, halaman, sepeda rusak, rekening listrik, acara arisan RT, antar jemput anak, dsb. Akhirnya istri membutuhkan “perpanjangan tangan”, yaitu pembantu atau orangtuanya.
Jika menilik soal mempunyai anak, dengan kemajuan teknologi sekarang ini, tidak perlu lagi seorang ibu yang melahirkan untuk istirahat berlama-lama. Luka Operasi Caesar bisa kering dalam hitungan hari. Tak jarang seorang ibu sudah bisa bekerja seminggu setelah melahirkan. Namun bagaimana dengan mengasuh anak?.
Mencari pembantu yang pintar, cekatan, jujur, tanggung jawab dan bisa dipercaya tidaklah mudah. Kalaupun ada yang seperti itu, dia akan berpikir 100x untuk jadi pembantu. Akhirnya yang jadi pembantu itu biasanya yang sulit diterima kerja di mana-mana.
Alternatif lain yaitu orangtua istri/suami yang turun membantu. Namun bagaimana pun juga, gaya didik antar generasi bisa jadi berbeda. Belum lagi sindrom nenek/kakek terlalu sayang atau tidak tegaan sehingga cenderung memanjakan cucu. Bantuan ini adalah bantuan luar biasa yang harus dihargai, kasihan sebenarnya, bahkan saya pernah dengar ceramah dengan KH Anwar Zahid, beliau selalu mewanti-wanti jamaatnya untuk balikin cucumu ke orang tuanya, itu tanggung jawab mereka, kakek neneknya saatnya istirahat.
Kalau kedua alternative diatas susah atau kasihan, maka terpaksa pasrah bawa ke lembaga profesional seperti child care atau tempat penitipan anak. Kelebihan di lembaga seperti ini yaitu komplain bisa diterima, karena memang ada biaya yang dibayar untuk harapan pelayanan yang profesional. Coba bayangkan jika complain ke orang tua yang tentu segan, atau complain ke pembantu dengan kapasitas kemampuannya yang terbatas.
Kerepotan urusan rumah tangga ini menyebabkan waktu istri untuk bekerja berkurang secara signifikan dibanding saat sebelum menikah atau sebelum punya anak. Jika sebelumnya si istri bisa bekerja sepuas hati dan sebebas merpati, kini waktunya menjadi terbatasi waktu untuk keluarga. Istri tak lagi bisa kerja lembur. Banyak kesempatan yang lewat di depan mata, tidak bisa diraih karena keterbatasan waktu. Kualitas kerja jadi terasa kurang maksimal. Kondisi ini semakin menyulut stress saat menyadari rekan kerja yang lain melesat jauh lebih cepat.
Situasi seperti ini bisa menyebabkan istri pekerja mudah uring-uringan. Biasanya tergelitik untuk menyalahkan suami bahkab anak. Bahkan bukannya kebahagiaan rumah tangga yang didapat, namun percekcokan2 antara suami istri yang sama sama merasa bekerja. Ini semua karena manajemen yang amburadul, istri seakan merasa semua pekerjaan rumah di dia. Bahkan jika tidak dimanage maka bisa terjadi perceraian, karena istri merasa toh tidak ada suami juga semua bisa dihandle sendiri baik mencari nafkah maupun mengurus rumah.
Saya jadi ingat, adik perempuan saya yang pekerja keras, suatu saat ketika emosinya di puncak karena stres dengan semua kesibukan, menyuruh suaminya pergi membawa sekalian anak-anak dari rumah, tentu efek stres akut ini tidak diharapkan.
Memang jika terjadi ketidak-seimbangan dalam keluarga seperti ini, saran yang paling sering muncul adalah himbauan pada Istri untuk keluar dari pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus rumah tangga. Bahkan ada yang menyarankan: “Jangan pernah berusaha menyeimbangkan urusan rumah tangga dan karir. Karena itu tidak mungkin. Pilih salah satu.”
Herannya, tidak banyak yang menyarankan agar Suami lebih banyak meluangkan waktu untuk turun membantu membereskan masalah rumah tangga. Konsep suami adalah ‘pemimpin’ istri rawan disalah tafsirkan sebagai suami bebas mengatur istri semaunya, tanpa perlu mendengarkan pendapat istri dan berempati terhadap keadaannya. Pemimpin yang baik seharusnya pemimpin yang bisa berempati, dan tidak hanya menggunakan dalil agama sebagai tameng egoisme.
Pada model istri-suami bekerja ini, baik suami atau istri seharusnya paham betul akan keterbatasan masing-masing. Suami memahami bahwa istrinya bekerja, sehingga waktu untuk keluarga terbatas, maka tidak seharusnya menerapkan standar pelayanan ibu rumah tangga pada istrinya. Sebaliknya, suami perlu membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Sayangnya dimasyarakat kita, masih banyak yang berkomentar “iba” saat ada suami yang memasak, mencuci baju, atau memandikan anak. Biasanya yang berkomentar iba ini ibu si suami, saudara si suami, teman si suami, atau rekan kerja suami. Komentar iba pada situasi ini rawan menjadi komentar yang kurang semestinya, karena bisa jadi si istri juga tak kalah capeknya.
Adalah hal yang sangat rasional jika tugas-tugas kerumahtanggaan perlu didiskusikan dan didistribusikan. Ritual pagi suami untuk “sruput kopi plus baca koran pagi-pagi” boleh-boleh saja dilakukan jika tugas pagi sudah ditunaikan, dan istri sudah memastikan tidak ada lagi yang perlu dibantu. Sungguh kurang adil jika di satu sisi si istri multi tasking; kerepotan masak, memandikan anak, menyuapi anak, menyiapkan bekal ke kantor dan sekolah… sementara si suami enjoy ngopi-ngopi sambil baca koran yah peaceful life he he… Walau mungkin tidak salah-salah banget suami, tapi berempatilah sedikit.
Saran saya, tugas kerumahtanggaan suami ini sebaiknya MENGIKAT. Bukan tugas yang boleh dikerjakan boleh tidak, tergantung kelonggaran waktu dan mood. Karena kalau demikian, beban pikiran akan pekerjaan itu tetap ada di pundak istri. Padahal meski belum dikerjakan, jika ada kepastian bahwa istri tidak perlu mengerjakan tugas A,B,C,… karena tugas itu akan dikerjakan suami, hal itu sudah sangat mengurangi beban stress sang istri. Semisal mencuci dan menjemur baju dikerjakan suami, namun men-setrika dikerjakan istri. Artinya jika suami tidak mencuci maka baju tetap teronggok kotor menumpuk, bukan berarti istri mengambil alih perkerjaan itu.
Konsep ini sebenarnya bisa juga diterapkan ke anak yang sudah remaja, saya inget ibu saya membagi tugas kami anak-anaknya. Pekerjaan saya adalah mencuci piring dan perkakas dapur lainnya, terserah piring atau gelas kotor banyak maka tugas itu tetap disaya. Saya tidak mencuci piring = piring bersih sedikit, anggota keluarga lain bisa marah ke saya karena itu tanggung jawab saya.
Lanjut, di sisi lain, istri juga harus bisa menghargai bahwa suaminya sudah berkorban dengan tidak mematok standar ibu rumah tangga padanya. Istri-bekerja perlu merasionalisasi target karir atau pekerjaannya, disesuaikan dengan alokasi waktu untuk keluarga. Istri–bekerja tidak perlu merasa karirnya terlalu lambat saat tidak bisa mencapai target setinggi rekan yang lain. Istri-bekerja tidak sepatutnya membandingkan diri dengan pencapaian rekan kerja pria-nya dimana istrinya IRT, atau rekannya yang single, di mana dia mungkin bisa bekerja lembur semaunya. Masa depan keluarga dan anak-anak akan menjadi satu pencapaian tersendiri yang tak kalah pentingnya.
Hidup ini harus balance, termasuk antara keluarga dan pekerjaan. Baik istri atau suami bekerja, seharusnya tidak perlu merasa bersalah jika tidak bisa mengikuti rapat mendadak yang diadakan seusai jam kerja. Asalkan tugas sudah dipenuhi sesuai standar, masalah keluarga lebih penting. Jika ternyata suami atau istri berbaik hati mengijinkan pasangannya bekerja overtime, maka ia harus berjanji memberi hadiah setimpal. Hargai pengorbanannya. Jangan kemudian egois karena bekerja overtime maka mengabaikan tugas masing-masing yang sudah disepakati. Jikapun harus melimpahkan tugas itu, maka memintalah kepasangan kita dengan baik-baik.
Jika suami-istri bisa menghargai posisi masing-masing, ada pembagian tugas kerumah tanggaan yang jelas, plus lingkungan kerja mendukung; maka model suami-istri sama-sama bekerja ini pun bisa menjadi model ideal. Baik suami maupun istri perlu sedikit berkorban untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun, tidak ada yang perlu jadi martir. Istri tidak perlu berhenti bekerja, jika di situ ia bisa berkarya untuk dunia. Tidak ada yang tahu kan bisa jadi sang istri bisa mengubah dunia dan suaminya pasti laki-laki hebat nan bijaksana.
Maaf ini blog terpanjang ya he he. Saya paham pembaca suka melihat judul, awal dan akhir bacaan. Maka mangga bagi yang kuat baca, dibaca pelan-pelan. Jika tidak, bisa baca paragraf akhir diatas sebagai kesimpulannya.
Ketikan diatas diramu dari berbagai sumber dan literatur.
Kang Jay.
Saya teringat nasehat kyai langitan yang sudah meninggal, kyai yang sangat dihormati oleh pak Jokowi dan pak Prabowo, yaitu nasehat tentang mahar:
“Nak, kalau kamu menikah, usahakan mahar istrimu kasih yang banyak walaupun calon istrimu hanya minta mahar seperangkat alat sholat. Jika tidak punya uang, kalau bisa ya cari-cari dulu, karena uang mahar itu berkah jika dipakai usaha. Nanti, setelah menikah kamu minta izin ke istrimu uang mahar itu akan dipinjam dan dipakai untuk modal usaha, insya Allah usahamu akan berkah dan sukses.”
Nasehat ini dipraktekkan oleh santrinya, dan banyak santrinya yang benar-benar berkah dan sukses. Eehhmmm.......
Kang Jay
Saya ditanya seorang gadis AN umur 20an, "Om, kok di AN para duda, janda atau yang sudah usia kalau ngobrol di blog seperti sangat bebas, kagak ada malu-malunya".
Saya jawab, "Neng, om dan tantemu ini ngeremnya susah, harus dikocok. Selain itu juga sudah terbiasa di lepas dijalanan mau jalan tol maupun jalan kampung, dan sudah biasa ngegas pol saling salib-saliban gak takut polisi. Jadilah suka males ngerem. Dimaklumi ya. Kalau mobil baru keluar dari pabrik seperti Neng kan jarang dibejek gas nya, rem masih pakem, dan service juga rutin ke bengkel resmi. La kalau kita, yang penting ganti oli di bengkel tetangga. Sisanya biarin, toh masih jalan walau knalpot ngebul dan suara ngegereng kaya kesurupan "wani sia ku aing". Ini juga pake bensin premium, kalau abis ya ngecer lagi, yang penting bisa ngegas poll, ya kadang ngepot dikit sih, walau antik tapi pede dulu".
Gadis, "Iya sih om, dimaklumi".
Kang Jay
Gini nih susahnya jadi jomblo yang habis bersilaturahmi dengan keluarga besar, terus tiba-tiba ketemu saudara yang menawan hati? Langsung deh searching mbah google dengan keyword ini: Hukum menikah dengan sepupu.
Kang Jay
Sebenarnya sampai saat ini pun banyak ustadz dan kyai masih mempertanyakan apakah jodoh adalah takdir, melihat bahwa jodoh juga mengikuti sebab-akibat seperti usaha dan doa.
Saya pernah mengikuti ceramah jum'at, sang Habib berapi-api bilang Jodoh Bukan Takdir, saya cukup lama mencernanya sambil garuk-garuk kepala tanda bingung he he he.
Kalau saya sendiri sih cenderung melihat jodoh adalah takdir seperti ajaran dibuku-buku agama saat sekolah, namun ketika saya cerna dari ceramah itu maka saya juga ikut heran karena banyak diantara kita terlalu saklek menganggap bahwa jika jodoh adalah takdir maka jodoh itu harus SEMPURNA, padahal kesempurnaan sangat mustahil didapatkan dalam hubungan asmara.
NAH POLA BERPIKIR seperti ini yang bisa membahayakan hubungan rumah tangga, kata sang Habib. Jodoh Tidak Sempurna = Jodoh Bukan Takdir, padahal takdir adalah ghoib. Ketika sampai rumah, saya merasa berhasil mencerna apa yang disampaikan sang Habib, masuk akal juga sih. Masih sangsi sih, ya sudahlah. Mungkin yang ingin disasar oleh sang Habib adalah Pola Berpikir nya.
Coba saya ulas.
Jika kita terlalu percaya hubungan sukses adalah hasil dari takdir jodoh, maka kita akan cenderung malas menyelesaikan masalah hubungan karena kita pikir pasangan kita harusnya sempurna dan hubungan seharusnya selalu lancar. Misal kita kenalan dengan cowok atau cewek kemudian kita merasa banyak kekurangan didiri dia dan banyak masalah terjadi, dengan mudah kita langsung menjudge "Oh dia bukan jodohku, karena jodoh yang disiapkan Tuhan untukku adalah jodoh sempurna dan lancar seperti yang aku idam-idamkan". "Aku tuh cowok atau cewek baik-baik lho (versi dia) jadi harus dapat yang baik-baik juga (lagi-lagi versi dia juga)". Hellooooooo...any body home.... Padahal sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik disisi Allah.
Kalau kita terlalu percaya pasangan hidup kita (misal sudah nemu) adalah jodoh sempurna yang ditakdirkan untuk kita, maka kita akan menyalahkan pasangan jika terjadi masalah. Kita akan mengkritik pasangan jika dia melakukan kesalahan. Kita akan menuntut pasangan untuk berubah demi kita. Akibatnya jika tidak, maka kita akan dengan mudah meninggalkan hubungan dan mencari orang lain yang kita anggap sempurna. Padahal kesempurnaan tersebut hanya ekspektasi yang membutakan kita untuk menjalani hubungan secara realistis dan sehat.
Sedangkan jika pasangan lain yang tidak terlalu memusingkan bahwa jodoh yang dia dapat saat itu adalah takdir sempurna namun berfikir yang REALISTIS, maka saat menghadapi konflik akan lebih sehat. Mereka memberikan ruang terbuka untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan satu sama lain demi memperbaiki konflik. Mereka tidak menahan uneg-uneg karena mereka tahu hubungan mereka tidak sempurna, sehingga mereka akan terus berusaha demi satu sama lain.
Hal ini berbeda dengan orang yang percaya dengan jodoh adalah takdir sempurna. Ketika menghadapi konflik, konflik tersebut justru dianggap sebagai tanda pasangan mereka bukanlah jodoh yang ditakdirkan untuk mereka. Alih-alih memperbaiki konflik, malah langsung menjudge itu bukan jodoh dia, jadi harus secepatnya bercerai dan mencari jodoh sebenarnya yang ditakdirkan Tuhan, ha ha ha pikiran sesat.
Jadi silakan saja kita percaya dengan jodoh adalah takdir yang tidak bisa diubah. Namun tetap selalu berpikir bahwa jodoh kita adalah orang yang tepat menurut standar kita sendiri, bukan artinya sempurna. Setelah bertemu orang yang tepat, kita tetap harus berusaha membangun hubungan yang sehat dan sudah pasti akan ada konflik yang harus dihadapi.
Sekali lagi walau itu takdir, namun jodoh jangan hanya ditunggu dan didoakan, jodoh juga harus tetap dicari dan diusahakan dengan tingkatkan terus kualitas diri dan standar kita dalam mencari pasangan. Kita harus selalu bersikap realistis untuk terus berusaha agar hubungan berjalan mulus dan sukses.
Kang Jay
Kebanyakan orang yang lama menjomblo banyak yang tak bisa menjelaskan mengapa sampai saat ini jodoh kita belum datang.
Ada alasan unik yang tanpa disadari membuat kita sulit menemukan belahan jiwa, yakni menyabotase diri sendiri.
Menyabotase diri sendiri bisa diartikan sebagai secara aktif meremehkan dan menutup peluang untuk interaksi sosial atau pun potensi bertemu orang baru.
Pada kondisi ini, kita mengatakan pada dunia bahwa kita tidak tertarik pada suatu hubungan baik secara sadar atau tidak sadar.
Kita seringkali menyalahkan faktor eksternal, misalnya menyalahkan cuaca panas atau macet sehingga malas datang ke sebuah undangan acara, menyalahkan teman yang dekat dengan kita berperangai buruk semua. Inti dari kebanyakan sabotase diri adalah rasa takut.
Ada kisah tentang sepupu saya, dia cantik, sarjana ekonomi dan bekerja sebagai SPG produk kosmetik. Dia paling males diajak ke acara keramaian. Tante saya sempat bingung bagaimana mencarikan jodoh untuk putrinya. Ada anak kenalan ibunya dikenalkan namun dibilang anak mami. Usia sepupu saya pun bertambah, pada akhirnya kandidat yang ada kebanyakan adalah duda. Ada salah satu duda serius yang datang kerumah, namun sepupu saya selalu mencari celah bagaimana sang Duda merasa tidak nyaman dan berusaha mempengaruhi ibunya bahwa sang duda berperangia buruk dan masih mengingat mantan istrinya.
Akhirnya sang duda mundur teratur. Sepupu saya dengan bangga bilang ke mamanya, "Tuh kan ma, untung eteh tidak serius ama dia, dianya cuman main-main nyatanya ga pernah datang lagi, untung eteh masih dijaga Tuhan untuk tidak mendapatkan suami berperangai buruk". Mamanya cuman bisa mengelus dada, jika sekali dua kali bilang kenalan prianya dicap buruk tak apa, namun kalau sering???. Kemudian takdir tidak bisa ditolak, diusia 41th sepupu saya meninggal karena Leukimia. Sedih jika teringat sepupu saya yang cantik ini, teman main saya karena kita hampir seumuran. Ini benar-benar kisah nyata. Saya masih sering meninggalkan ucapan ulang tahun di FB nya, adiknya (sepupu saya juga) suka membalas pesan saya karena dia adminnya.
Sebenarnya kondisi mensabotase diri ini dapat dimengerti bahwa banyak orang menahan diri demi melindungi diri sendiri agar tidak terluka. Ini terutama disebabkan oleh rasa takut akan penolakan dan keinginan untuk menghindari patah hati.
Sering kali ketika seseorang secara emosional terluka di masa lalu, wajar untuk melindungi diri. Tapi ada perbedaan antara bersikap skeptis secara sehat dan merusak kebahagiaan sendiri.
Banyak orang yang tanpa sadar menyabotase peluang mereka menemukan cinta karena adanya kenyakinan negatif, seperti merasa lebih baik saya sendiri, takut menjadi korban perselingkuhan, dan berpikir tak punya waktu untuk menjalin asmara.
Secara umum, pada kondisi ini memang kita belum siap menjalin asmara karena masih memegang beberapa keyakinan itu.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Ini mungkin klise, yaitu belajarlah mencintai diri sendiri. Ada banyak manfaat untuk belajar mencintai diri sendiri sebelum kita dapat mencintai orang lain.
Saat mencintai diri sendiri akan timbul kasihan, kasihan tubuh ini belum pernah merasakan pernikahan, kasihan tubuh ini belum mencoba digunakan untuk mendapatkan anak, kasihan tubuh ini belum banyak dibelai oleh kekasih hati, dan lain sebagainya.
Belas kasih dan kesadaran diri adalah langkah pertama dalam menarik dan mengembangkan hubungan positif.
Kang Jay
Bagi yang pernah dilukai, hingga susah melupakan.
Bagi yang pernah mencintai, tapi dikhianati.
Bagi yang pernah mengkhianati, lalu menyadari semua bukanlah hal baik untuk hati.
Bagi yang jatuh cinta diam-diam, suka pada sahabat sendiri.
Juga bagi yang tidak bisa berpaling dari orang yang sama, dan hal-hal yang lebih pahit dari itu.
Tenanglah, saya pernah ada di posisi anda saat ini. Mari mengenang, tapi jangan lupa jalan pulang. Sebab, setelah kita berpetualang ke masa lalu, kita harus menjadi lebih baik bukan makin terpuruk atau bahkan terlena untuk terus memanjakan hati dengan kesakitan itu terus.
Saya pun tahu satu-satunya hal yang bisa memperlambat waktu adalah rindu.
Namun ayo, kita mulai menata rindu yang baru. Ya rindu yang punya harapan nyata bukan fatamorgana.
Katakan kepada masa lalu: kamu adalah cerita yang telah usai.
Bangkit menatap masa depan kita dengan optimis dan ceria.
Kang Jay