Jika manusia memiliki kediaman, maka rindu berkediaman di dalam hati.
Jika manusia memiliki tempat favorit, maka tempat favorit bagi rindu adalah pikiran.
Rindu senang berada pada dua tempat tersebut dan dia sering berjalan-jalan dari hati ke pikiran dan dari pikiran ke hati.
Seketika rindu bisa timbul, rindu juga bisa membolak-balikkan hati dan pikiran. Membuat rasa berubah dan menjadikan hati tidak lagi teduh. Pada saat itulah kesedihan mengambil momen dan membuat air mata terjatuh.
Rindu senang berjalan-jalan pada malam hari. Menapak dari pikiran ke hati. Membuat siklus tidur kita yang merindu berubah dan menjadikan dunia kita terbalik. Saat orang-orang di semesta ini tertidur pulas, kita malah tidak pernah puas untuk bermain dalam kerinduan. Begitu aneh, bukan? Kita bermain dalam rindu dan rindu itu berdomisili dalam hati di diri kita sendiri. Sebab itu, yang kita temukan hanya kesedihan dan bayang sesuatu yang kita rindukan, bukan dirinya seutuhnya.
Rindu sangat senang memiliki rumah di hati. Sedang yang membangun rumah tersebut di hati kita adalah jarak, kehilangan, dan kepergian. Maka, saat terjadi jarak pada hubungan, kehilangan, dan kepergian, rumah bagi kerinduan otomatis terbangun.
Kita tidak akan bisa melakukan penolakan, tidak ada kata yang tepat selain pasrah.
Kang Jay
Jika kita melihat orang yang berbahagia dengan pasangannya, maka pada kenyataannya orang yang bahagia itu sudah bahagia sebelum mereka bertemu dengan pasangan mereka yang bahagia juga.
Boleh saya bilang, sulit ada orang lain yang dapat membuat kita bahagia!.
Lalu dari mana kita mendapatkan gagasan bahwa orang lain dapat membuat kita bahagia? Mungkin dari lagu dan film ha ha, karena dalam lagu dan film suka bilang, "Sebelum ada dirimu, aku menderita, namun engkau mengubah segalanya!" Namun, itu hanyalah semacam mitos.
Dalam dunia nyata, orang-orang kebanyakan berkata, ”Sebelum ada dirimu, aku menderita, namun engkau menghancurkan segalanya!”
Orang yang bahagia menarik orang yang bahagia.
Orang yang menderita menarik orang yang menderita.
Ketika kita merasa gembira, pernahkah kita mengatakan kepada diri sendiri, ”Aku harus mencari orang yang sedang sedih?" Tidak! Kita mencari orang lain yang juga bahagia. Apa pun yang kita rasakan itulah yang kita ingin dapatkan.
Agar dikelilingi oleh orang orang yang berpikiran positif, pertama kita harus tersenyum. Jika kita merasa sedih atau depresi, maka diri sendirilah yang dapat mengubah, jangan berharap pada orang lain apalagi mengharapkan pada pasangan yang belum dikenal, entah dimana dan sedang apa ha ha ha.
Ya, jangan mengharapkan kebahagian dari orang lain! Andai orangtuaku, andai saudara-saudaraku, andai pasanganku dulu, andai pacarku, andai teman-temanku. Semua andai-andai itu bullshit !!!
Ayo selangkah demi selangkah, kita membuka diri untuk keluar dari lingkaran kesedihan. Ketika kita mulai melihat sisi yang lebih baik, maka kita kan menarik teman yang bahagia, bahkan menarik calon pasangan halal yang kita idam-idamkan. Bukan pasangan suram yang makin menghancurkan kita ke bagian terdalam dari kesedihan.
Bahagia atau menderita itu hanya permainan sederhana dari mindset atau pikiran kita saja. Salah satu cara paling simpel agar bahagia yaitu coba hitung nikmat dari Allah, hitunglah dengan calculator karena jarimu tidak akan cukup, maka kita akan mulai bersyukur dan mulai menyadari bahwa menjadi bahagia itu amat sangat sederhana dan mudah, semudah kita menarik napas menghirup oksigen yang gratis.
Ayo mulailah kita tersenyum. Wajahmu akan terlihat ceria saat engkau murah senyum. Senyummu akan dibalas oleh senyum orang lain yang sedang bahagia. Percayalah secara tidak langsung itu adalah screening awal untuk memilih pasangan yang bahagia.
Turunkan Ego, berlombalah jadi yang pertama untuk bahagia.
Kang Jay
Pagi itu, anda buka jendela kamar.
Angin bertiup lembut, membawa sehelai daun kering melayang di udara, jatuh di kusen jendela. Aroma pagi menjelajah seisi kamar, wanginya seperti tanah kering yang dibasahi hujan dan pohon-pohon yang dibasahi oleh embun. Matahari terbit lebih cerah, sinarnya menyelusup ke dalam kamar, menyorot tempat tidur yang masih berantakan dan anda yang berbaring lagi di balik selimut. Secangkir kopi susu panas telah menanti, liukan uapnya memanggil.
Ini adalah hari yang baru, tanpa dirinya, tanpa air mata, dan tanpa luka basah.
Beberapa hari terakhir, anda melahap buku motivasi, menelusuri setiap halamannya penuh perasaan. Perlahan, anda menyadari hubungan di masa lalu adalah kesalahan yang tak ingin anda ulangi lagi. Perlahan, anda menerima kesalahan dulu. Perlahan, anda menerima kepergiannya. Perlahan, anda memaafkan diri anda. Perlahan, anda mengubah keinginan; yah keinginan perjalanan cinta anda.
Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.
Memang, anda belum sepenuhnya pulih dari patah hati, tetapi anda memilih bertahan dan terus melangkah. Seperti, tadi malam, saat anda menelusuri lnstagram dan menemukan fotonya bersama seseorang baru, timbul perih di hati, layaknya cubitan kecil nan tajam, gigitan semut merah, dan tusukan jarum lancip. Namun, ya sudah, rasa sakit itu tak lagi bertahan lama.
Untuk menghibur diri, anda akan mengunjungi akun-akun lain, memandangi foto-foto mesra pasangan yang telah menikah.
Genggaman tangan yang halal, jalan-jalan berdua yang halal, pelukan hangat yang halal, seluruh interaksi yang halal. Di akun-akun itu, anda berimajinasi dan bergumam dalam hati....
Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.
Saat menulis ini, saya tersenyum. Telah anda lepaskan orang-orang yang tak berhak dipertahankan. Tak lagi anda gantungkan kebahagiaan anda pada cinta-cinta yang tak pasti. Namun, senyum itu tak menetap lama. Sejujurnya, aku agak Khawatir.
Saya khawatir anda masih menganggap cinta adalah sumber utama kebahagiaan.
Saya khawatir anda masih menggantungkan harapan dan masa depan pada cinta, begitu tinggi, seperti dulu.
Saya khawatir pernikahan hanya jadi kamuflase anda untuk merasakan cinta lagi.
Bukan, bukan berarti anda tak boleh menikah.
Itu adalah keinginan yang baik. Saya mengapresiasi itu. Dari cinta yang tak pasti menuju cinta yang lebih pasti. Dari sesuatu yang dilarang menuju sesuatu yang tak dilarang. Bukankah itu sebuah kebaikan? Saya mengapresiasi itu. Sebagai seorang Muslim tentu pernikahan adalah sebuah ibadah, bentuk penyempurnaan separuh agama, satu dari sekian cara agar kita menjadi hamba yang lebih baik.
Ini adalah keinginan yang baik, saya ulangi itu. Namun, yang kurang baik adalah motivasi yang melatarbelakangi keinginan itu.
Apakah anda ingin menikah hanya karena merindukan rasa indahnya mencintai dan dicintai?.
Apakah anda ingin menikah karena berpikir kebahagiaan permanen itu ada di sana?.
Apakah anda ingin menikah hanya karena takut kesepian?.
Apakah anda ingin menikah hanya karena tak sabar menunjukkan pada dunia bahwa anda bebas bermesraan dengan pasangan halal anda?.
Apakah anda ingin menikah karena anda telah memberi syarat kepada dirimu, “Kalau udah nikah, baru aku bakal begini-begitu?”. Jadi ingat, saya kenal seorang wanita single 41 tahun dengan gaji diatas 15jt, gajinya dihambur2kan unt tamasya, belanja, beli hadiah2 mahal untuk saudara dan keponakannya dll, saat saya sarankan untuk kpr rumah, jawabannya selalu "itu tanggung jawab suami saat sudah nikah". Seakan mengharapkan bahagia dari suami kaya dimasa depan.
Jadi, untuk apa anda ingin menikah?
Sudahkah anda jujur kepada diri sendiri?
Sekali lagi, bukan, bukan saya tak menyarankan menikah. Itu adalah keinginan yang baik, ibadah yang direkomendasikan, bahkan boleh saya bilang wajib (versi saya). Saat melepasnya dari hubungan pacaran, larangan agama dan rida Tuhan jadi alasan utama anda. Namun saat ingin menikah, mengapa rasa ingin mencintai dan dicintai mendominasi pikiran anda? Mengapa ekspektasi dan harapan terhadapnya lebih banyak menguasai pikiran anda? Mengapa pikiran-pikiran seperti HIDUPKU-BAKAL-LEBIH-BAHAGIA-KALAU-SAMA-DIA meliputi seisi kepala anda? Mengapa bukan ridho Allah yang berada di barisan terdepan pikiran anda?
Tidakkah ini... terdengar seperti diri anda dulu?
Ingin berpacaran karena ingin tahu rasanya mencintai dan dicintai. Ingin berpacaran karena ekspektasi dan harapan terhadapnya. Ingin berpacaran karena mengira hidup anda bakal lebih bahagia dengannya. Sekarang, anda ingin menikah karena rindu rasanya mencintai dan dicintai; ingin menikah karena ekspektasi dan harapan anda terhadap pernikahan; ingin menikah karena mengira hidup anda bakal lebih bahagia bila bersamanya.
Bukankah ini tak jauh berbeda dengan masa-masa berpacaran dulu?
Tarik napas sejenak. Tersenyumlah sedikit.
Semoga anda menyadari: Jangan sampai cinta menjadi agama anda. Jangan sampai dia menjadi tempat anda bertumpu. Jangan sampai hidup anda hanya untuk cinta dan dirinya. Sedetik setelah kematian anda, dia sudah tak bisa membantu anda.
Ingin menikah, silakan, itu baik. Namun perbaiki niat, itu yang tak boleh kita lupakan.
Selamat berjuang, untuk diri kita yang lebih baik.
Kang Jay
“Ayo, masuk.” Dia menarik lenganmu, membawa langkahmu menuju tempat paling asing dalam duniamu.
Kamarnya. Kamar seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang bukan bagian dari keluargamu. Kamar pacarmu.
Langkahmu membeku di sana, di belakang pintu kamarnya yang masih terbuka. Lututmu terlalu lemas untuk berbalik keluar dari kamar pengap ini. Kau bahkan tak bisa lagi merasakan kencangnya degup jantungmu. Jadi, matamu mengitari seisi ruangan. Kasur yang teronggok di lantai dengan seprai berantakan, baju kotor di atasnya, dan selimut yang belum dilipat. Asbak di pojok kamar, beserta bekas puntung-puntung rokok dan ampasnya. Lemari kayu yang pintunya tak ditutup. Saat kau menarik napas, aroma rokok, udara pengap, dan sisa parfum maskulin beradu dalam indera penciumanmu.
Masih membatu, matamu mengekori langkah kakinya. Dia melepas jaketnya, membuangnya ke tempat tidur, berjalan menuju jendela, menyingkap tirai hijau, membuka jendela sehingga cahaya senja menembus, menyilaukan tatapanmu.
“Ngapain di situ? Duduk sini.” Kini, dia duduk di kasurnya, bersandar di dinding, sedikit berbaring, lalu menepuk bagian kosong di sampingnya sambil menahan tawa melihat ekspresi tegangmu.
Saat kau mengambil langkah pertama, dia berkata, sedikit lebih pelan, “Pintunya ditutup aja.”
Napasmu tercekat. Kau menelan ludah.
Omong-omong, ini indekos. Kau tahu mengapa pintu sebaiknya ditutup. Dan, kau tak punya pilihan lain. Jadi, kau mendorong pintu itu, membiarkan sejengkal celah. Lalu, kau duduk di sampingnya, terlalu kaku dan tegang.
“Kamu kenapa, sih? Santai aja,” ucapnya, duduk tepat di sampingmu.
Mulai dari percakapan itu, dia meneruskan pembicaraan. Dia bercerita tentang indekos ini. Penghuni kamar sebelah yang sering mabuk tiap malam, lalu akhirnya didepak dari indekos ini. Penjaga indekos yang nyaris tak pernah kelihatan kecuali saat menagih tagihan bulanan dan saat ada kasus tertentu. Kisah horor di kamar mandi atas. Kebiasaan anak cowok di indekos, yang membuatmu mengernyit jijik.
Dia terus bercerita sampai matahari terbenam.
Dan, kau begitu menikmati setiap momen bersama orang yang kau cintai, di tempat intim ini. Tak seperti di mall yang hiruk pikuk. Parkiran mall yang kelewat panas. Kafe yang dibatasi waktu. Kau diam-diam menikmati situasi ini. Kau dan dia, tanpa jarak.
Kalian terus berbincang sampai malam menjelang.
Tak ada apa-apa yang terjadi.
Dia adalah laki-laki yang baik. Kau adalah gadis yang tahu batas.
Berada di dalam kamar pacar tak seburuk yang orang-orang pikirkan.
But it was just the first night.
Berada di dalam kamar pacar tak seburuk yang orang-orang pikirkan, batinmu.
Jadi, keesokan harinya, kau datang lagi. Lagi pula, apa yang bisa kau lakukan setelah semua urusan di kantor usai? Bermain bersama teman? Oh, mereka juga sibuk dengan pacar-pacar mereka. Mengerjakan tugas-tugas kantor? Duh otak ini butuh penyegaran. Kembali ke kosanmu? Bosan di sana. Mengajak pacarmu ke kosanmu juga tak mungkin, karena itu kosan putri.
Tak ada pilihan lain, bukan? Jadi, pada senja yang menua ini, kau duduk di sampingnya, di dalam kamarnya, memancing kisah mantan-mantannya dulu, berpura-pura cemberut, sampai dia memohon-mohon, berusaha memelukmu, berkata lirih tapi aku-paling-sayang-sama-kamu, lalu kau akan tertawa melihat wajah sedihnya.
Dan ketika kalian bersama, waktu berjalan begitu cepat. Senja memudar. Malam menjelang. lni malam keduamu di sini, di kamar pacarmu.
Ratusan kilometer dari sini, ibumu tak bisa tidur, ayahmu lembur lagi malam ini.
Kamu berada di dalam kamar pacarmu tak lagi terasa mengerikan. Dia adalah laki-laki yang baik. Kau adalah gadis yang tahu batasnya. Dia akan mengantarmu pulang sebelum pukul sepuluh malam.
Dia tak pernah menyentuhmu secara tak sopan.
Maka, datanglah malam ketiga.
Hujan turun di luar, nyaris pukul sepuluh.
Pacarmu tampak gelisah. Dia bolak-balik kamar mandi sejak tadi.
“Kamu kenapa, sih?” tanyamu, saat dia kembali ke kamar.
Kau sedang berdiri di dekat jendela. Dia menghampirimu, dengan tatapan yang berbeda. “Nggak, nggak apa-apa,” jawabnya, kini berdiri begitu dekat denganmu. Tanpa jarak. Dan, diam begitu lama.
Hingga dia berbisik. “Apa aku boleh-"
Dan, tak sampai dia menyelesaikan pertanyaan, itu telah terjadi.
Sebuah ciuman pertama.
Kau tersentak, mendorongnya pelan, tak mau memandang wajahnya. Diikuti jeda yang panjang dan canggung.
Gimana kalau dia marah...
Gimana kalau dia ninggalin aku gara-gara ini...
Temanku lebih parah dari ini, kok...
Akhirnya, kau mengangkat muka, memandangnya, lalu mengangguk. Karena kau menyayanginya. Karena kau tak ingin ditinggalkan.
Karena dia adalah laki-laki yang baik, dan kau adalah gadis yang tahu batas. Itu semua bermula dari sana.
Sayangnya, itu hanya jadi dongeng masa lalu.
Karena...
seperti detik-detik yang menjelma menit, menit yang menjelma jam, jam yang menjelma hari, bulan, hingga tahun, siapa sangka kumpulan detik yang kecil dapat menjelma tahun-tahun yang berlalu?
Dan, seperti dirimu yang merasa dia adalah laki-laki baik dan kau adalah gadis yang tahu batasnya,
Lalu, kau meremehkan sebuah batas: masuk ke kamarnya.
Namun, kalian saling cinta, tak ada paksaan, orang-orang tak berhak bilang apa-apa.
Bersama dalam kamar menjelma pelukan sederhana, pelukan sederhana menjelma ciuman, ciuman menjelma sentuhan-sentuhan terlarang, sentuhan-sentuhan terlarang menjelma sesuatu yang lebih jauh, sesuatu yang melanggar batas, yang kau kira kau tahu bahwa itu adalah batas yang tak boleh kalian lewati.
Namun, kalian saling cinta, tak ada paksaan, orang-orang tak berhak bilang apa-apa.
Siapa sangka langkah pertama di kamarnya menjadikanmu seperti ini, sejauh ini? Aku tak tahu apa lagi yang terjadi di kamar itu. Namun bertahun-tahun kemudian, kudengar kabar baru. Kabarnya, kalian sudah putus.
Dia mengaku bosan dalam hubungan ini, seolah dia telah mendapatkan apa yang dia kejar, maka selesailah misinya.
Kau mencoba keras untuk bertahan dalam hubungan yang sudah tak sehat ini. Satu-satunya alasan kau ingin bersamanya adalah karena dia telah merebut sesuatu berharga dari dirimu. Dan, ada cinta yang semakin membludak setelah malam-malam itu.
Namun, dia tak mau lagi bersamamu.
Sesuatu dalam dirimu memang telah diambilnya dan tak akan pernah kembali.
Rasanya begitu mudah mengatakan ini... tetapi, lebih baik begitu. Daripada kau bertahan dengan seorang laki-laki yang hanya memanfaatkan apa yang kau miliki.
Daripada kau terus-terusan tenggelam dalam kesalahan ini.
Setiap malam, kau mungkin akan bertanya, “Lalu, bagaimana masa depanku? Siapa yang mau bersamaku?”
Aku tahu ini sangat berat bagimu. Aku tak tahu solusi paling tepat.
Namun, aku hanya ingin mengingatkan:
Kita tidak hidup karena cinta. Kita tidak hidup untuk mencari pasangan.
Ada misi yang lebih besar dari itu.
Sebab jika cinta adalah tujuan hidup kita, bagaimana dengan pasangan-pasangan yang berakhir cerai, pasangan-pasangan yang ditinggal mati, lalu memutuskan hidup sendiri seumur hidupnya? Bukankah itu tanda besar bahwa cinta bukanlah tujuan hidup ini?
Ini juga bukan sekadar cita-cita yang besar. Lebih dari itu. Jauh setelah itu.
Sebab jika cita-cita adalah tujuan hidup kita, mengapa tokoh-tokoh seperti Albert Einstein dan Steve Jobs, yang mungkin telah mencapai mimpi-mimpi besar mereka, harus berakhir dalam pusara? Bukankah itu tanda besar bahwa ada sesuatu setelah cinta dan cita-cita?
Iya, aku berbicara tentang sebuah kehidupan setelah kematian.
Apakah kau telah mencari tahu kehidupan setelah kehidupan di dunia ini? Maka, sudahkah kau mencari? Sudahkah kau tahu apa saja yang dapat menyelamatkanmu dari hari-hari buruk setelah kematian? Ataukah kau hanya merasa tak ada kehidupan setelah kematian karena kau tak suka konsep itu? Ataukah karena kau merasa tak ada bukti ilmiah tentang itu, jadi kau berhenti mencari dari perspektif lain? Ataukah karena ini terdengar seperti dongeng?
Namun, mengapa ada sudut dalam hatimu yang senantiasa terasa kosong, seperti sedang berusaha mencari dan mengejar sesuatu? Sudahkah kau benar-benar mencari? Mengapa kau selalu merasa kehilangan arah? Mengapa kau selalu mempertanyakan ujung hidup ini? Sudahkah kau mendengar kebenaran yang tak terelakkan, yang bahkan hatimu bisa merasakannya?
Lihat, baru beberapa kalimat, dan pikiran tentang jodoh mulai memudar. Bebanmu sedikit terangkat. Hatimu terasa tenang, seperti udara yang menyelusup ke ruang pengap. Ya, karena kau sudah dekat dengan jawabannya. Dengan kebenaran.
Teruslah mencari, teruslah berdoa kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta, yang Maha Kuasa atas Segala Sesuatu, Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, agar kau senantiasa berada di jalur yang tepat, menuju misi terbesar dalam hidup.
Dan, siapa pun yang membaca ini, saya ingin kita ingat: Segalanya bermula dari ucapan ini:
Dia baik. Aku tahu batasannya. Kita nggak bakal ngapa-ngapain, kok.
Teruntuk wanita muda, atau wanita yang sudah usia untuk tidak terlena 'lagi'.
Kang Jay
Pada suatu pagi nanti, kau akan membuka matamu, menemukan dia di sampingmu.
Hatimu tenang, bibirmu tak bisa berhenti tersenyum setiap pagi.
Dia adalah pasangan hidup yang telah kau dambakan; seseorang yang tadinya tak bernama tetapi selalu kau panjatkan dalam doa; dan doa doa yang terkabulkan dalam satu sosok manusia. Sudah tak ada lagi malam-malam sebelum tidur, bertanya-tanya, “Siapa yang jadi jodohku kelak? Apa ada yang mau sama aku?” Karena, tadi malam, saat kau belum tertidur lelap, jodohmu telah mendengkur halus di sampingmu, seakan berkata, “Kamu sudah nggak sendiri lagi.”
Hari pertama, hari kedua, hari ketiga. Bulan pertama, bulan kedua, bulan ketiga, hingga tahun pertama. Semua berlalu seperti mimpi indah. Perbincangan tengah malam tentang mengapa kamu memilihku. Obrolan-obrolan tak penting, lelucon penuh tawa, pengingat-pengingat manis darinya. Duduk berdua, di depan televisi yang tak menyala, tanpa bicara, tetapi begitu hangat dan nyaman. Bernostalgia di sore hari tentang hari pernikahan kalian, di saat para saksi menyeru, “Sah!" dan air mata menggenang di mata kalian.
Semua ini berlalu begitu mulus, begitu indah. Masalah ada, konflik terjadi, rasa jenuh sempat hadir, tetapi itu tak pernah menghancurkan kalian, malah semakin menguatkan. Ini bukan hubungan yang sempurna, tetapi kau tak mempermasalahkannya selagi ini bersamanya.
Lalu, tanpa aba-aba, sesuatu di dalam dirimu terjadi.
Seperti kecemasan. Yang membuatmu ingin menangis tanpa alasan masuk akal. Yang membuatmu tak terlalu nafsu makan. Yang membuatmu bingung apa yang harus kau lakukan.
Tidak, tidak ada apa-apa tentangnya. Dia tetap menjadi pasangan yang baik. Bahkan semakin baik, semakin hari berlalu. Tidak, tidak ada masalah darimu. Dia menerima segala kekuranganmu dan senantiasa memberi bisikan hal-hal seperti,
“Aku sayang sama kamu bersama seluruh kekuranganmu.” Dan, di situ masalahnya.
Kau sangat, sangat, sangat mencintainya, mengaguminya, menggilainya. Namun, cinta ini begitu kejam. la mengirimkan suara-suara dalam hatimu yang bertanya, “Bagaimana nanti? Bagaimana tahun-tahun ke depannya? Bagaimana kalau dia pindah ke lain hati? Bagaimana kalau dia berubah? Bagaimana kalau dia... meninggal?”
Kau sangat, sangat, sangat mencintainya, mengaguminya, menggilainya, dan itu membuatmu khawatir.
Gelisah merundungimu setiap kali dia pulang lebih larut dari biasanya. Meski dia sudah jujur, “Aku lembur.”
Kecemasan meliputi setiap kali dia jatuh sakit. "Dia kenapa, ya? Duh, aku harus gimana? Kenapa belum sembuh?".
Curiga timbul setiap kali dia begitu fokus menatap ponselnya, lalu mengetik sesuatu. Apa ada perempuan lain? Meski setelah kamu mengecek isi ponselnya setiap malam, itu hanya perbincangan bersama teman lama dan urusan kerja. Atau sudah dia hapus?.
Perih betul hatimu ketika dia berkata, “Aku ada janji sama temanku. Aku balik agak malam, ya.”
lya, dia memang hanya bercengkerama bersama teman-temannya, tetapi mengapa aku malah cemburu tidak penting begini? Mengapa hati ini begitu sakit hanya karena hal sepele seperti ini?.
Kesedihan menjadi sahabat baikmu setiap kali kau berjalan-jalan bersamanya. Genggaman tangan yang erat, percakapan sederhana, gombalan yang memanjakan telingamu, itu semua membuatmu bertanya, “Sampai kapan? Apakah dia akan begini terus? Namun, gimana kalau dia sudah... meninggal? Aku gimana? Aku hanya sayang dia, nggak ada yang bisa menggantikan dia.”
Di tahun-tahun berikutnya, kau mendengar perceraian teman terbaikmu, kisah perselingkuhan yang merajalela, temanmu yang meninggal, meninggalkan pasangan hidup dan anak-anaknya.
Perasaan ini semakin menyiksamu. Seperti ada pisau yang kasat mata, mengiris hatimu pelan-pelan, membiarkannya berdarah bertahun-tahun, dan tak ada yang dapat menghentikan irisan ini. Jika irisan ini berhenti, itu sama saja berarti tak pernah menemuinya, tak pernah mengenalnya, tak pernah mencintainya, tak pernah menikahinya.
Rasa sakit ini bermula dari rasa cinta yang begitu dalam. Dan, jika kecemasan ini tak pernah ada, setidaknya ada satu kebenaran yang pasti terjadi: satu dari kalian akan meninggalkan satu sama lain.
Mungkin, ini yang disebut orang-orang: kenikmatan adalah ujian.
Kehidupan yang melelahkan. Seakan semuanya terasa sia-sia. Mencintai tetapi tak pernah bisa benar-benar memiliki.
Jika cinta bukan jawaban dari segalanya, lalu apa?
Perihal ini, setiap orang memiliki perspektif masing-masing. Dan, setiap orang akan bertanggung jawab dengan pendapat mereka.
Dan, jika kecemasan ini tak pernah ada, setidaknya ada satu kebenaran yang pasti terjadi: satu dari kalian akan meninggalkan satu sama lain.
Saat satu dari kalian pergi, meninggalkan dunia ini. Katakanlah itu dirimu. Maka, kepada siapa kau kembali? Apakah kau kembali kepada pasangan hidupmu? Apakah hidupmu berakhir begitu saja? Setelah melalui semua kesulitan ini? Apakah arti hidup ini jika semua berakhir tanpa makna? Maka, kepada siapa dirimu kembali?.
Secara naluri dan logika paling murni dan jujur, kita semua tahu jawabannya: kepada-Nya-lah kita kembali.
Maka, apakah cinta jawaban dari segalanya? Apakah kita hidup hanya untuk saling mengisi rasa kesepian? Atau, bertakwa kepada Tuhan yang telah menciptakan kita, yang memberi rezeki kepada kita, yang menjadi tempat kita kembali, yang menjadi jawaban segalanya, tujuan hidup yang sesungguhnya?.
The truth is so loud we can’t deny it.
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlamba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” [QS Al-Hadid: 20]
You may gone from my sight, but you are never gone from my heart.
Kang Jay
Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna.
Maksud saya, lihat saja Instagram mereka.
Gadisnya dulu. Foto terbarunya adalah sebuah foto jarak jauh, dilatari dinding putih bersih. Mereka berdiri berdampingan, tanpa jarak, jemari saling menggenggam, kepala sang gadis bersandar di bahu sang lelaki, memejamkan mata dengan bibir tersenyum tipis, mengenakan pakaian terbaik. Dan, sang laki-laki melihat kamera, agak kikuk dengan senyum separuh dan tangan kanan yang tampak seperti menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Sekarang, mari kita cek Instagram laki-lakinya. Foto terbarunya adalah gadisnya, hanya gadisnya, tanpa dirinya. Duduk menyamping, berlatarkan langit biru, melihat sesuatu yang jauh, tanpa senyum, tanpa ekspresi, tetapi begitu damai. Dan di foto ini, seakan sang laki-laki sedang diam-diam mengagumi gadisnya.
Kemudian, kita jadi ingin menulis di kolom komentar. "Kapan ya punya kekasih kayak gini?. Kayak gini terus ya..."
Berbulan bulan mengikuti mereka di lnstagram, saya menggulir postingan lama mereka. Foto-foto romantis yang tak pernah berlebihan, caption-caption yang diambil dari Google dengan kata kunci “love quote tumblr”, video-video manis tentang hubungan mereka.
Berbulan-bulan saya menonton keseharian mereka lewat Instagram Story. Boomerang konyol, tetapi menggemaskan, kisah-kisah lucu (yang 50 sweet) dari pasangannya, kutipan-kutipan indah yang menggambarkan kebaikan pasangannya.
Segalanya begitu sempurna dan indah. Namun hari ini, segalanya berubah.
Foto foto romantis telah terhapus. Kutipan kutipan indah tak berjejak. Mereka tak lagi saling mengikuti di Instagram. Tak ada lagi Instagram Story bersama. Yang ada hanya puisi-puisi sedih, latar hitam, dan foto-foto dengan mata sembap.
Padahal kita pernah menaruh harapan pada hubungan ini, berharap ada akhir indah di setiap kisah cinta.
Beberapa bulan kemudian, sang gadis bertemu seseorang baru, jatuh cinta dan jadian, memiliki kisah cinta yang lebih seru, foto-foto yang lebih romantis, perjalanan tengah malam yang gila, dan segalanya jadi lebih berwarna.
Dan kita kembali berharap: mudah-mudahan, mereka berjodoh, mudah-mudahan, mereka berjodoh. Karena saat ini, mungkin kita sedang berada di posisi yang sama. Yah sedang jatuh cinta dengan seseorang, yah memiliki seorang terkasih, yah berharap orang yang kita cintai hari ini menjadi jodoh kita di masa depan.
Namun, hidup kembali memutar cerita. Tak sampai setahun, hubungan gadis itu dan pasangan barunya berakhir. Foto-foto kembali terhapus. Kutipan-kutipan cinta lenyap. Tak lagi saling mengikuti di Instagram. Tak ada lagi Instagram Story, selain kutipan-kutipan patah hati yang pilu.
Lagi lagi, kita kecewa. Lelah berharap, karena kita sadar: ini bukan relationship goals. Ini siklus percintaan yang melelahkan. Penjara yang dibalut atas nama cinta. Bertemu, jatuh cinta, jadian, Instagram yang penuh keromantisan, putus, foto-foto terhapus, saling berhenti mengikuti, lalu bertemu orang baru lagi, jatuh cinta lagi, jadian lagi. Instagram penuh keromantisan lagi, putus lagi, foto-foto terhapus lagi, begitu seterusnya.
Jadi, kita bosan dan berhenti mengikuti gadis itu. Toh, kita juga tak mengenalnya. Dia hanyalah seseorang yang terkenal di Instagram, dan hubungannya di masa lalu pernah mengembangkan harap kita.
Sekarang tidak lagi.
Cari pasangan-pasangan yang udah nikah aja, biar lebih pasti, nggak sakit hati.
Jadi, kita mulai mengikuti pasangan-pasangan yang telah menikah, menggulir Instagram mereka. Foto-foto mesra bertebaran. Kisah-kisah manis yang tertulis di caption.
Dan, kita belum benar-benar berubah, masih ingin menulis di kolom komentar: "Ini baru goals, kapan ya punya pasangan kayak gini?. Kayak gini terus ya..."
Sayangnya, kita hanya melihat indahnya.
Kita tak tahu... perkelahian di balik tirai, keegoisan yang tak terkontrol, rasa lelah untuk bertahan, masalah sepele yang membesar, masalah yang tak kunjung berakhir, catatan dosa di setiap kemesraan yang diumbar, harapan akan pujian-pujian untuk menyenangkan hati mereka yang sebenarnya tak bahagia dalam hubungan ini.
You've seen it wrong all this time. Love doesn’t work like a movie.
Bukan, saya bukan ingin melenyapkan angan kita tentang cinta. Kita semua mengharapkan kisah cinta yang indah. Kita semua mengharapkan hubungan yang ketika orang-orang melihatnya, mereka akan berkomentar, “Goals banget, sih!”
Saya hanya ingin kita sedikit lebih realistis.
Bahwa cinta tidak seperti yang mereka pertontonkan di Instagram.
Karena jujur saja, saya khawatir ketika kita telah menemukan kekasih sejati, menikah dan hidup bersama nanti, kita akan menjadikan Instagram sebagai patokan kebahagiaanmu, bergumam dalam hati,
“Kenapa hubunganku nggak bisa kayak gini?
Kenapa aku punya pasangan tidak romantis, boro-boro mengucapkan sayang, membawakan belanjaan aja harus disuruh."
Kita semua hanya melihat sisi indahnya. Jangan terkecoh. Mari letakkan cinta di tempat yang tepat; karena selama ini, cinta terlalu diagung-agungkan.
We are better than love.
Diri kita lebih penting daripada cinta.
Kang Jay
Seperti ruang kosong yang tak terawat, hati kita sudah penuh debu.
Hari-hari setelah meninggalkannya tak pernah mudah. Teman-teman memang ada di sisi kita. Keluarga memang mendukung kita. Namun setiap malam, ketika sendiri di kamar, menjelang tidur, namanya muncul di kepala. Saat kita memalingkan muka, malah wajahnya yang hadir. Pada saat-saat seperti itu, hati rasanya sesak, debu-debu semakin padat dan pekat.
Lalu, kita akan melakukan berbagai cara untuk menghilangkan debu di dalam hatimu, seperti curhat bersama teman atau berbincang dengan keluarga. Dan, ketika selesai berbincang dengan mereka, memang ada kelegaan tersendiri. Debu-debu dalam hati seolah ditiup angin. “Namun, mengapa pada akhirnya, hati terasa kosong? Lagi dan lagi?’ gumam dalam hati.
“Apakah aku memang masih membutuhkannya? Ataukah aku butuh cinta yang baru?' tanya di setiap malam. Namun, logika dan hati saling serang argumen. Kembali dengannya terlalu menyakitkan. Lagi pula, emang dia masih sayang? Dia aja udah punya yang baru. Apa kita butuh cinta baru? Tetapi, kenapa ya, rasanya kayak mati rasa? Kayak udah lelah jatuh cinta lagi.
Saya ingin berkata:
"Tidak, saya bukan butuh dia. Saya juga bukan butuh cinta yang baru."
Kita hanya butuh ber-dzikir.
Mulailah dari yang kita tahu. Pahami maknanya.
- Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah.
- Astaghfirullah wa atubu ilaih, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
- Subhanallah wa bi hamdi subhanallahil ‘azhim, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah yang Maha Agung.
Telusuri kandungannya melalui sumber-sumber terpercaya, benahi pelafalannya, lalu maknai dalam hati.
Karena banyak yang telah merasakannya: Di balik dzikir, ada sebuah ketenangan permanen, sangat mengena di hati. Seperti menghirup udara di kala fajar, tiupan angin sejuk di tengah kemarau, menatap danau yang tenang, tidur nyenyak di malam hari dengan hiasan mimpi indah.
Mungkin saat bibir kita mulai melantunkan zikir, rasanya masih biasa saja. Namun teruskanlah, ucapkanlah, jangan menyerah, maknai maknanya, ingat janji-janji Allah di setiap zikir yang kita lantunkan, dan janji Allah adalah benar. Seperti mendung yang mengawali hujan, segala sesuatu butuh proses. Seperti batu yang melapuk, segala sesuatu butuh waktu. Tak apa-apa jika di menit-menit pertama kita belum merasakan ketenangan itu. Teruskan saja, luruskan niatmu. Nanti, perlahan-lahan, hati kita akan melunak.
Dan, saat itulah ketenangan menyebar di seluruh hati. Ini ketenangan yang nyata dan berbeda. Rasanya lebih indah dari berjumpa dengan kawan lama, lebih indah dari rasa jatuh cinta, lebih indah dari distraksi-distraksi lain.
Tahukah mengapa kita merasa tenang seindah itu? Menurut pengalaman saya, karena dzikir ini adalah satu dari sekian amalan ibadah yang kita lakukan sendirian, tanpa seorang pun tahu, hanya untuk Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa pun di antara keduanya. Menurut saya juga, karena dzikir ini adalah satu dari sekian hal yang yang balasannya tak hanya di dunia, melalui ketenangan ini, melainkan juga sesuatu yang kita bawa hingga akhirat, yang balasannya, mudah mudahan, kita terima dengan sempurna di akhirat. Sehingga hati kita terasa lebih terjamin.
Mudah-mudahan, ini jadi satu dari sekian ibadah yang menyelamatkan kita di dunia ini dan juga di akhirat kelak. Aamiin.
Kang Jay
Di dalam kamarnya, gadis itu sedang membuka Instagram. Dia mengunjungi sebuah profile, dan... foto-foto cantik tersebar di layar ponsel. Pujian yang bertumpuk di kolom komentar, dan ada hati yang diam-diam iri.
“Dia cantik banget, sih.”
“Body goals.”
“Coba kalau kulitku seputih dan semulus ini.”
“Enak, ya. Nggak usah mikirin soal jodoh. Siapa aja pasti mau sama dia. "
Lalu, dia mengunjungi profile-profile yang lain. Kecantikan-kecantikan lain. Pujian yang lebih banyak. Hati yang lebih iri.
Lelah dengan hati yang iri, gadis itu keluar dari lnstagram. Beranjak dari tempat tidurnya, menyalakan lampu kamar, melangkah menuju cermin, lalu mata gadis itu menatap ke dalam cermin. Satu langkah, ia mendekat. Dan, mata itu berubah kritis.
“Gila, ya, gue jelek banget. "
Dia mengarahkan wajahnya lebih dekat dengan cermin, mematut kanan-kiri. “Aduh, kok bekas jerawat nggak hilang-hilang sih?”
Dia menatap perutnya, menggenggam lemak di sana. Tak bisa bicara, hanya menarik napas yang terasa sesak.
"Siapa yang mau sama orang kayak aku..."
Dia berjalan mundur, menjauhi cermin, dan beragam macam suara bermain di kepalanya.
Emang ada yang mau sama kamu?
Fisik kurang oke. Pintar enggak. Kaya juga kagak. Belum lagi kekurangan lainnya.
Bisa apa kamu emangnya?
Kamu nggak menarik.
Dan, dia duduk tersungkur di ujung tempat tidurnya. Kecemasan mencekiknya, membuat dadanya terasa penuh hingga bernapas pun terasa berat. "Siapa yang bakal memilih orang seperti aku?".
Aku tahu kau sedang merasakan ini.
Masalahnya, telah lama kau menutup mata. Sibuk memperhatikan kehidupan gadis-gadis lain yang lebih cantik di Medsos. Coba, sesekali lihatlah sekelilingmu. Tak perlu jauh-jauh. Tengok sekitar. Kau akan menemukan orang-orang dengan berbagai ras, warna kulit, ukuran dan bentuk tubuh. Pada akhirnya, mereka akan menemukan pasangan mereka.
Di dunia ini, ada orang-orang yang menjadikan fisik lawan jenis sebagai segalanya. Ya sudah, biarkan mereka, kau tak perlu memedulikan mereka. Hapus mereka dari daftar calon pendampingmu. Ada penilaian yang lebih berharga daripada fisik. Namun, kau juga harus berhenti menilai seseorang berdasarkan fisiknya. Bukankah kau tak suka dinilai berdasarkan fisik? Maka, jangan jadikan tisik sebagai segalanya. Termasuk bagaimana kau melihat dirimu. Apreasiasi dirimu. Syukuri bagaimana kau telah diciptakan. Tuhan yang Maha Esa lebih tahu tentang penciptaan Nya. Selalu ada hikmah tersembunyi yang belum kita lihat hari ini.
Masih tentang fisik, lihatlah berita-berita di internet: apakah ketampanan dan kecantikan adalah jaminan menemukan pasangan yang membahagiakan? Bila ya, tentu, kita tak perlu mendengar kisah perceraian dari orang orang kelas atas. Kaya, tampan dan cantik, populer, tetapi hidupnya berantakan. Fisik tak pernah jadi jaminan.
Kabar baiknya, di luar sana, ada seseorang yang ketika melihat dirimu, dia akan bergumam, “Dia tipeku.”
Namun, mengapa kebahagiaan kita harus divalidasi oleh seseorang lain?
Mengapa kita tidak berdiri di depan cermin, melihat berbagai kelebihan dan kekurangan yang ada pada fisik kita, dan bersyukur pada apa yang telah kita miliki?
Mencintai menghargai mulai dari dirimu, untuk dirimu sendiri. Jika kamu saja tidak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana orang lain bisa jatuh cinta kepada dirimu? Hidup terlalu singkat untuk meratapi kekurangan. Fokuslah pada kelebihanmu dan rangkul dirimu secara utuh.
Saya doakan eneng dan teteh disini segera mendapat jodohnya, namun pelan-pelan teliti bobot bibit bebetnya. Untuk pria, jangan juga mengambil jalan pintas seperti dibawah ini, namun buktikan dengan kerja kerasmu bahwa kamu layak menjadi pria tulen yang sukses.
Btw, jadi giung pisan nyak. Kalau yang tua-tua kayak aku bisa kagak ya, just wondering..
Kang Jay
Ada seorang gadis di Kamis pagi ini.
Sudah pukul sembilan pagi, dia belum beranjak dari tempat tidurnya. Berbaring, menatap layar ponsel dan jarinya menggulir linimasa Instagram.
Lalu, dia berhenti pada satu foto. Seorang laki-laki tampan berdiri tegap dengan latar masjid dan nuansa cahaya menyeruak masuk, dia menatap kesamping atas.
Gadis itu tanpa disadarinya tersenyum sendiri. Sesungguhnya, gadis itu jatuh hati kepada laki-laki ini. Siapa yang tak jatuh hati dengan laki-laki ini? Dia tampan, tetapi itu bukan faktor utama. Lewat Instagram, dia selalu membagikan pengingat-pengingat baik yang menenangkan hati. Dia selalu mengingatkan para followers untuk tak meninggalkan sholat lima waktu. Suaranya merdu saat melantunkan Alquran. Dari apa yang gadis itu lihat, pemuda itu sepertinya rajin beribadah, memiliki ilmu agama yang baik, such a husband material every woman needs.
Sering kali, gadis itu membayangkan kehidupan setelah pernikahan, bersama laki-laki itu.... Mendengarkan suara merdu laki-laki itu setiap malam, juga membacakan surat favoritnya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah membuka Alquran untuk membaca surat favoritnya itu.
Dibangunkan sebelum azan subuh oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah berusaha untuk salat subuh, kecuali ketika dia sedang ingin. Senantiasa diingatkan untuk salat lima waktu oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu hanya mendirikan salat ketika dia tak malas.
Merasa teduh membayangkan menjadi istri yang taat pada laki-laki yang taat. Sayangnya, pada orangtuanya, dia bahkan tak pernah belajar menjadi anak yang taat. Di Kamis pagi ini, dia menuliskan kriteria jodohnya di dalam kepala. Nggak merokok. Harus rajin salat lima waktu. Paham agama. Pengertian. Nggak emosional. Tinggi dan berdada bidang. Dan, bla, bla, bla. Indah-indah semua kriterianya.
Kemudian, ada seorang gadis lain di Kamis pagi, tanggal 2 April 2020.
Di Kamis pagi ini, gadis yang lain ini tidak menuliskan kriteria jodohnya. Namun, gadis yang lain ini bangun dini hari untuk melaksanakan sholat subuh. Kemudian mandi lalu membantu ibunya di dapur, memasak sambil berbincang hangat.
Usai itu, dia membuka lnstagram, berhenti di setiap video kajian, menonton dengan tekun. Dia, kemudian berjanji dengan beberapa temannya untuk menghadiri kajian terdekat. Azan dzuhur akan berkumandang, dia persiapkan apa yang harus disiapkan.
Gadis ini tak butuh menulis kriteria jodoh. Dia telah menjadi kriteria jodoh yang baik bagi orang lain. Dan, orang lain ini adalah seorang laki-laki, yang mudah-mudahan baik agamanya, lebih baik daripada laki-laki yang gadis pertama idolakan di lnstagram.
Lalu, ada seorang gadis sedang rebahan menghadap blog AN detik ini. Gadis itu sedang membaca tulisan ini. Dia berkata kepada dirinya, “Aku harus berubah jadi baik. Biar bisa dapat jodoh yang baik.”
Lalu, gadis ini hendak beranjak dari tempat tidurnya, ingin melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun, sebelum kau beranjak dari tempat tidurmu, saya ingin berkata kepadamu,
“Jangan berubah hanya karena Iaki-Iaki. "
Aku sangat mendukung keputusanmu untuk berubah menjadi lebih baik. Namun, janganlah kau jadikan laki-laki dan cinta sebagai alasan. Sebab laki-laki hanyalah manusia. Manusia tidak kekal. Manusia tidak sempurna. Manusia selalu mengecewakan. Dan, cinta hanyalah perasaan. Ia bisa datang dan pergi, seperti cinta dan patah hatimu yang dulu. Ia bisa pudar seperti dia yang pernah berubah tiba-tiba.
Lagi pula, di akhir hidupmu kau akan berpisah dengan dia yang amat kau cinta. Di akhir hidupmu, kau akan kembali kepada Dia yang menciptakanmu. Maka, apakah perubahanmu ini untuk jodoh yang baik, yang tak kekal dan tak sempurna?.
Bukannya saya hendak menghakimi, tetapi bukankah berubah karena masalah jodoh agak terlalu dangkal? Maksud saya, cinta dan jodoh hanya bertahan hingga hari akhir hidupmu di dunia ini. Sementara itu, kau masih punya perjalanan panjang yang misterius setelah kematian.
Maka, untuk siapa perubahan baikmu ini?
Kang Jay
Seorang murid mendatangi gurunya, “Ustaz, puluhan tahun saya beribadah kepada Allah. Setiap hari saya menyembahNya. Setiap saat saya taati perintah-Nya dan jauhi laranganNya. Tapi mengapa hidup saya begini-begini saja, bahkan jodoh pun tidak ada yang mendekat, tidak ada perubahan yang saya rasakan?”
Dengan wajah datar, sang guru menyimak kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh muridnya.
“Ustaz, katanya Allah mengabulkan doa orang yang salat tahajud. Katanya Allah mencukupkan rezeki orang yang salat duha. Katanya Allah melipatgandakan harta orang yang bersedekah. Katanya Allah tak akan menolak hajat orang yang berpuasa. Mana buktinya? Saya beribadah puluhan tahun, nyatanya nasib saya sama saja, tak ada yang berubah."
Sang guru masih dengan sabar mendengarkan ricauan muridnya itu.
“Ustaz, tolong jelaskan, apa sebenarnya maunya Allah?"
Sang guru memulai nasihatnya dengan senyum, “Nak, sebenarnya apa yang paling kauinginkan dari ibadahmu?”
Sang murid diam.
Sang guru menegaskan pertanyaannya, “Nak, sebenarnya apa yang paling kauharapkan dari semua amalan-amalanmu? Apakah semua ibadahmu selama ini agar Tuhan memberikanmu jodoh yang membahagiakanmu? harta yang berlimpah? Nak, Tuhanmu itu Allah. Bukan dunia. Jika engkau melakukan ibadah-ibadah itu demi kesenangan dunia, lantas sebenarnya siapa atau apa yang sedang kamu sembah, Nak? Allah atau dunia?”
Sang murid menyimak nasihat gurunya.
“Nak, jangan kau salah menyembah. Ketika kau salat, bukankah berkali-kali kau ucap kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallaah'? Jika kau renungi kalimat itu dalam-dalam, kau pun akan menemukan pengakuan yang mahadahsyat: tak ada satu pun Zat yang layak disembah, diutamakan, dipentingkan, selain Allah taala. Maka ketika yang kau menangkan adalah nafsu, bukankah hakikatnya nafsu mengalahkan ketakutanmu pada Allah? Jika yang kau utamakan adalah pekerjaanmu, bukankah hakikatnya pekerjaan mengalahkan kecintaanmu pada Allah? Lantas pertanyaannya, sebenarnya siapa yang kau tuhankan, Nak, siapa?" ketika kedudukan dunia di hati manusia telah lebih kita utamakan, bukankah itu berarti menjadikan berhala yang kita sembah?.
Saudaraku, fondasi keislaman kita adalah tauhid dan dalam kalimat tauhid tersimpan konsekuensi yang tak remeh. Ketika kita mengucap laa ilaaha iIIaIlaah, saat itu pula kita sedang berikrar untuk tidak akan mengutamakan selain-Nya. Tapi kenyataannya, mengapa kita menuhankan beragam hal yang menghalangi kita menghamba secara total kepada-Nya?
Saya teringat dengan nasihat K.H. Mustofa Bisri yang mengungkapkan hal senada. Beliau mengungkapkan, sering kali dalam kehidupan sehari-hari, Allah-Tuhan yang sebenarnya-dikalahkan oleh 'tuhan-tuhan sekutu” seperti harta, jodoh, perempuan, kedudukan, jabatan, dan sebagainya. Dan di antara ‘tuhan-tuhan sekutu’ yang sering dipuja dan diikuti, yang paling gawat dan jarang disadari adalah 'tuhan' yang berupa diri sendiri.
Orang yang mempertuhankan uang, jabatan, atau perempuan, misalnya, mungkin akan mudah sadar bila diingatkan dan diyakinkan akan kenyataan betapa lemah dan sementaranya yang mereka puja dan perturutkan itu. Misal saat kehilangan jabatan, uang habis dihambur-hamburkan anak istri, atau istri yang disayang selingkuh kemudian minta cerai, kenyataan itu bisa menyadarkan dirinya.
Namun mereka yang mempertuhankan diri mereka sendiri, akan lebih sulit disadarkan, sebab mereka tidak gampang mendengarkan orang lain.
Pada kenyataannya Allah juga tidak mengecewakan kita, disetiap doa insya Allah selalu ada jawaban, hanya kita saja yang bodoh terkadang tidak sadar jawaban Tuhan. Untuk saya sendiri pernah punya pengalaman hidup, suatu saat dimasa lalu pada keadaan miskin, bersama istri tinggal dirumah kontrakan yang sempit di gang yang harum bau selokan. Setiap hari berdoa kepada Allah agar diberi kekayaan, saya pun sadar saat itu seakan saya menghambakan harta, berdoa siang malam dengan maksud dan tujuan "harta". Maka Allah beri kenikmatan harta dengan bisa beli beberapa rumah dan apartemen. Itu melenakan, disaat terpenuhi dan mulai bosan, malah seakan melupakan Tuhan; dimana tiap hari berdoa dengan khusyuk, puluhan ribu dzikir dan sholawat dilantunkan sampai subuh, puluhan rakaat sholat sunnah di tengah malam, puluhan juz bacaan disiang hari, sholat duha tak pernah terlewat, puasa senin-kamis, namun semua itu perlahan ditinggalkan. Sedih rasanya teringat itu semua. Mengapa diriku dulu mencari Allah karena dunia bukan menyembah Allah secara kaffah. Apa ini ujian agar tersadar bahwa apalah artinya harta, jika kemudian sakit dan meninggal ternyata tidak dibawa mati, apalagi jika yang tersayang mendahului yang malah meninggalkan kesedihan yang mendalam disisa umur kita.
But anyway, lupakan saya, kita lanjutkan kembali, majalah SWA, salah satu majalah bisnis terbesar di Indonesia, pernah merilis sebuah survei yang menurut saya cukup menarik untuk diperbincangkan. Dalam survei itu ditanyakan kepada kaum profesional, bisnisman, serta orang-orang yang bergelut di birokrasi, yah orang berpenghasilan menengah keatas
Ditanya apa aktivitas sehari-sehari yang selama ini mampu membuat mereka bahagia?
Inilah jawaban mereka:
1. Saat berkumpul dengan keluarga
2. Tidur/istirahat
3. Travelling
4. Nonton televisi atau bioskop
5. Shopping
6. Bekerja
7. Memasak
8. Olahraga
9. Membaca
10. Bersosialisasi dengan masyarakat
11. Bersosialisasi di dunia maya
12. Mengurus anak
13. Mendengar musik
14. Berkumpul dengan teman-teman
15. Bermain games
16. Santai
17. Melaksanakan ritual keagamaan
18. Berbagi cerita atau pengalaman
19. Lainnya
Hasil survei ternyata menarik untuk kita diskusikan. Berkumpul dengan keluarga ternyata menempati urutan pertama, maka bisa kita maklumi jika momentum mudik adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh mereka yang beraktivitas di rantau. Karena ini menjadi hal yang membahagiakan dalam hidup mereka. Mereka belajar, bekerja, berusaha, berjuang di kota lain, salah satu motivasinya adalah untuk membahagiakan keluarganya. Mereka rela untuk hidup susah di kota lain dengan semboyan, pantang pulang sebelum sukses. Semua itu dilakukan demi membahagiakan keluarganya. Maka rasanya wajar jika berkumpul dengan keluarga adalah saat yang sangat dinanti oleh mereka.
Atau juga saat ini disaat kita Work from Home, terasa nikmatnya berkumpul dengan keluarga. Saya suka melihat anak buah saya diseberang sana saat net meeting via Zoom, saat anak-anaknya menggoda bapaknya, namun bapaknya tidak langsung marah mengusir pergi namun dengan sigap malah memangku anaknya, terlihat pancaran kebahagiaan saat net meeting itu berlangsung walau sering terdengar kericuhan suara anak-anak.
Namun saya pun maklum tidak semua orang selalu bahagia saat berkumpul dengan keluarga, bisa kita lihat bahwa saat banyak waktu berkumpul dengan keluarga seperti di China saat isolasi Corona, malah angka perceraian meningkat pesat. Ketika menghabiskan banyak waktu bersama selama masa isolasi, ternyata beberapa pasangan malah jadi sering bertengkar. Mereka cenderung berargumen karena sesuatu yang remeh temeh dan ingin cepat-cepat bercerai. Adakalanya memang memisahkan waktu besama pasangan, dan waktu untuk diri sendiri malah akan menambah kualitas pernikahan.
Saya tidak akan membahas satu per satu dari item tersebut. Saya tertarik untuk langsung meloncat ke pilihan nomor tujuh belas, yakni melaksanakan ritual keagamaan. Mungkin ada sebagian orang yang ketika membaca hasil survei ini lantas mengelus dada, kok bisa-bisanya hubungan dengan Tuhan ada di urutan yang hampir buncit, kalah dengan berkumpul dengan keluarga, tidur, travelling, dan seterusnya. Kok bisanya mereka menjadikan ritual peribadatan kepada Tuhan bukan sebagai hal yang paling membuat mereka tenang dan bahagia.
Tapi saya, sebagai seorang yang mungkin kualitas jiwanya tidak jauh dari hasil survei tersebut, justru sangat bersyukur dengan hasil survei itu. Mengapa? Walau di nomer tujuh belas, namun setidaknya masih ada yang memilih itu. Yah dalam kehidupan modern yang segalanya serba materialis seperti saat ini, ternyata masih ada orang-orang mulia yang menikmati ibadahnya kepada Tuhan. Dalam kehidupan yang serba cepat dan supersibuk ini, setidaknya masih ada ya orang yang menjadikan ibadahnya sebagai salah satu media untuk mendamaikan jiwanya, menenangkan hatinya, membahagiakan hidupnya. Dan saya terus berdoa semoga suatu saat Allah mengaruniai kita hati yang mampu menikmati ibadah-ibadah kita. Sehingga ibadah bukan lagi menjadi beban, tapi menjadi kebutuhan.
Saya selalu iri ketika ada orang yang bisa menikmati ibadah-ibadahnya. Menikmati salat-salatnya, menikmati zikir-zikirnya, dan menikmati tilawah-tilawahnya. Sungguh saya selalu iri ketika menyaksikan orang-orang yang mampu menjadikan salat, zikir, atau tilawah sebagai rutinitas yang seolah menjadi makanan dan sumber energinya. Saya selalu berdoa, semoga suatu saat bisa menjadi manusia sekualitas itu, yang menjadikan salat bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai kebutuhan.
Sebagaimana ketika Rasulullah ketika menghadapi persoalan yang pelik, tak jarang beliau memanggil Bilal, “Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat." Ketika kita menjadikan salat sebagai kewajiban yang kita kerjakan dengan bermalasan, Rasul dan sahabatnya justru menjadikan salat sebagai istirahatnya. Ya istirahatnya.
Kang Jay